Dok. Pribadi
PUISI, Lorongka.com--- Hujan selalu saja melembabkan ingatan kita tentang apa-apa yang pernah indah dan ada di dalam sana.
Aku tahu abai itu sakit, tapi seorang lelaki tak mungkin patah apalagi berhenti hanya sebab tidak menemukan kepedulian.
Hujan sore ini turun membasahi bumi Bonto Jai, kampung terepencil di tengah hutan lebat.
Kita di sini seperti mendatangi legenda yang telah lama kehilangan nama.
Kita menyapa anak-anak kampung seolah memberikan sejumput cinta untuk tetap optimis bahwa mereka tetap akan baik-baik saja.
Kita menyanyikan Indonesia Raya pada mereka, dengan antusias senyum simpul kegembiraan mencerminkan makna hilangnya tanggung jawab sebuah negara.
Kita mengajari mereka mengenal nama pemerintahnya, memaksa diri menyihir kepala mereka yang fasih berbahasa ibu untuk terus membudayakan Bahasa Indonesia.
Kita mengajari mereka membuat gambar kelinci, rusa, hutan lebat dan ular, sebagai isyarat bahwa binatang dan lingkunganya segera punah sebab itulah penting disimpan dalam ingatan untuk kelak didongengkan ke anak cucu selanjutnya.
Perjalanan panjang mengantarkan manusia pada tujuannya, sementara cinta membuat kita betah di sini.
Hujan sudah berhenti, kita masih berbicara dengan anak-anak desa mengingatkan pada masa di mana kita bermain lumpur, mandi keringat, mengejar layang-layang, dan hal-hal lainnya yang tak mungkin bisa diulang.
Tatapan kita sesekali bertabrakan, mulut kita berhenti sejenak menyadarkan diri pada misteri sepasang manusia yang bungkam sebab diam-diam sudah saling jatuh cinta.
Bonto Jai, Bone, 15 April 2022
Penulis: Pemuja Kopi