Despry Nur Annisa Ahmad |
Jagalah (agama) Allah, niscaya Dia menjaga kamu
(HR at-Tirmidzi)
LorongKa.com - Perundungan menurut Kemendikbud RI adalah suatu perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan. Baru-baru ini sempat viral di berbagai media massa online terkait laporan dugaan pemaksaan hijab di SMAN 1 Banguntapan yang telah sampai ke Ombudsman RI perwakilan DIY. Kepala ORI DIY Budhi Masturi menyatakan, akan menelusuri dugaan perundungan dalam peristiwa tersebut. Beliau menilai bahwa pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama bisa masuk kategori perundungan.
Kejadian ini menjadi potret yang meyakinkan bahwa negeri yang memiliki jumlah populasi muslim terbesar di dunia ini terserang virus sekulerisme yang sudah akut. Penulis setuju bahwa pemaksaan untuk berhijab itu sangat tidak diperkenankan. Namun, bila tindakan pemaksaan berhijab secara verbal ini terarah pada kategori sebagai tindakan perundungan, tentu saja kita harus lebih cermat lagi sebelum menyimpulkan. Cara penyampaian yang salah bukan berarti bahwa konten yang disampaikan itu adalah kesalahan. Apalagi jika yang disampaikan itu adalah perintah wahyu.
Perintah berhijab ini adalah perintah Sang Maha Pencipta melalui wahyuNya. Guru di sekolah hanya perantara yang digerakkan Sang Pencipta untuk menyeru siswinya yang muslim bersegera melaksanakan syariat menutup aurat. Justru dalam hal ini, lembaga pendidikanlah yang harusnya mendukung penuh fasilitas layanan pendidikan agar mengarahkan siswa-siswinya taat syariah dengan pendekatan persuasif, bukan melalui pemaksaan. Bukankah ini yang justru menjadi output sistem pendidikan? Yakni mencetak siswa-siswi menjadi manusia yang melakukan perbaikan sesuai arahan wahyu! Hijab ini adalah salah satu dari perintah wahyu itu sendiri.
KBBI menuliskan hijab adalah dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain. Namun dalam Islam, penggunaan redaksi hijab yang disandingkan dengan Muslimah ini ditujukan pada cara berpakaian yang menutup aurat sesuai dengan syariat Islam. Batasan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Memang diantara ulama terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, disebabkan oleh pengertian ayat berikut;
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak pada dirinya” (QS An Nur: 31).
Para fuqaha yang berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita (termasuk wajah dan telapak tangan) adalah aurat karena menafsirkan firman Allah Swt maa zhahara minha dengan “apa yang tampak dengan unsur ketidaksengajaan” seperti terbuka karena tiupan angin sehingga kaki/betisnya atau sebagian badannya terbuka. Imam Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat demikian. (Terjemah tafsir Ahkam Ash Shabuni jilid 2 hal 243-249, Bina Ilmu, 1993).
Namun, ada juga hadits Rasulullah Saw tentang aurat wanita sebagai berikut:
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk ke (RUMAH) Rasulullah saw. Mengenakan pakaian tipis; maka Rasulullah saw berpaling dari (arah)nya danbersabda, ‘Hai Asma’ ! Seorang perempuan, jika telah sampai usia haid (dewasa), maka tidak boleh dilihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk muka dan kedua telapak tangannya .” (H.R Abu Daud).
Pada masa Rasulullah Saw, kaum wanita membuka wajah dan telapak tangannya tatkala mereka berhadapan dengan Rasulullah saw. Beliau tidak melarangnya. Mereka pun menampakkan muka dan kedua telapak tangannya di pasar-pasar, di jalan-jalan dan lain sebagainya.
Pada intinya, bagi orang beriman dan berakal, soal kewajiban berhijab atau menutup aurat ini sudah selesai sejak jaman dulu. Sebab dalam pandangan empat mazhab, menutup aurat bagi perempuan adalah mutlak wajibnya. Yang menjadi titik perbedaan hanya di dua bagian tubuh saja, yakni wajah dan telapak tangan. Rujukan dalil menutup aurat sesuai syariat Islam bisa kita lihat pada QS An-Nur ayat 31 dan QS Al Ahzab ayat 59.
Terjemahan:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur 24:31)
Terjemahan:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab 33:59)
Jika ingin mendetaili kedua dalil tersebut, kita bahkan bisa menemukan perbedaan lagi antara jilbab dan khimar (kerudung) yang hingga hari ini masih sering disamakan. Padahal keduanya memiliki perbedaan substansial.
Jilbab dalam kamus Al Muhith diartikan sebagai pakaian lebar dan longgar untuk wanita serta dapat menutup pakaian wanita sehari-hari (tsaub). Menurut Ali Manshur Nashif dalam kitab At Taaj Al Jaami’ lil Ushuulil fii Ahaditsa Ar Rasuul, dinyatakan bahwa jilbab artinya pakaian perempuan yang dipakai diluar kerudung dan baju gamisnya yang berfungsi menutupi seluruh tubuhnya. Menurut Ahmad Warson Munawwir dalam kamus Al Munawwir jilbab diartikan sebagai baju kurung panjang sejenis jubah. Berdasarkan pengertian tersebut, dinyatakan bahwa jilbab ini bukan kerudung, melainkan pakaian gamis yang menjulur tidak berpotongan. Adapun kerudung, itu adalah khimar yang standarnya menutup dada. Bukan jilbab, yang merupakan sebuah pakaian gamis.
Jika dikaitkan perintah wahyu ini dengan kasus pemaksaan berhijab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama ini sebagai tindakan perundungan, tentu saja kurang tepat. Sebab bagaimanapun, lembaga pendidikanlah yang harusnya hadir menjaga pengaturan wahyu ini agar dibiasakan kepada anak didik sebagai bentuk keseriusan dalam mencetak generasi yang baik sesuai panduan wahyu. Lembaga pendidikan jugalah yang harus memikirkan cara persuasif terbaik agar syariat ini menjadi hal yang mainstream di kalangan anak didik. Bukan malah menganggap syariat sebagai sesuatu yang antimainstream dan tidak boleh diterapkan.
Hijab adalah identitas utama bagi seorang muslimah. lembaga pendidikan dalam hal ini seyogyanya hadir dalam garda terdepan membuat kurikulum yang mensituasikan anak didik bisa dibiasakan taat. Bukan berlepas diri dan justru mengarah pada kesan menggugat wahyu itu sendiri dalam hal aturan hijab ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa akibat penerapan aturan sekuler secara menyeluruh di negeri ini, seringkali menjadikan aturan agama sebagai sesuatu yang salah ketika diemban oleh seorang individu. Tidak hanya itu, individu yang mencoba mendakwahkan ajaran agama ini juga dinilai keliru dan perlu dilarang. Padahal kesungguhan dalam beragama inilah yang nantinya justru akan menjadi penolong kita ketika esok telah masuk dalam zona pengadilanNya.
Penulis: Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc (Dosen dan Peneliti)