Penulis
OPINI, Lorongka.con--- Apa jadinya mahasiswa bila harus sama untuk dianggap baik ?
Apa jadinya mahasiswa bila harus satu warna dalam wadah organisasi ?
dipaksa seragam atas nama etika, dan dituntut tunduk demi tatatan moral, persetan dengan semua itu.
Bukankah perbedaan ketika disatukan menjadi satu kekuatan dan konsep yang lebih menarik, yang tidak harus mempertahankan ego hanya karena berbeda warna dan tak punya warna.
Sering kita jumpai gedung-gedung tinggi dan spanduk yang bertebaran berlabelkan slogan-slogan memuakkan berbumbu intelektual, sesekali menyelipkan istilah religius dalam tatanan sistematis birokrasi yang mereka sembah dan besarkan hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
Tetapi apakah Berorganisasi benar-benar menjadi acuan konstitusi atau manifestasi tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga mereka yang tak berhimpun terkadang mendapat diskriminatif dan terasingkan?
Saya rasa tidak. Jika ada Organisasi tanpa Tuhan, saya pikir di Indonesia tepatnya. Jangankan menjual konstitusi, memperdagangkan agama saja dilakukan para elit organisasi dan mengambil beberapa dari sekian banyak suara yang mereka teriakkan untuk kepentingan rakyat.
Lalu bagaimana kita selaku akademisi mencerdaskan? Bila tiba masanya kita mengunjungi ruang-ruang kelas, kita akan menemukan keganjilan tak terduga.
Di mana ada mahasiswa diintimidasi dalam dalam kampusnya, bahkan dalam beberapa kajian diskusi sebab tak memiliki background yang sama, atau tak punya peluang untuk mengemban jabatan strategis karena tak punya banyak kenalan senior yang berpengaruh.
Sayangnya pertarungan ideologi yang harusnya berkolaborasi untuk membangun bangsa dan kemajuan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) malah jadi arena pertarungan bagi mereka yang punya ikatan, demi menjaga eksistensi dan popularitas warnanya.
Sesekali saya bergeming apa jadinya negara jika hanya diisi oleh mereka yang berpengaruh karena satu warna dan memiliki warna yang hanya mengedepankan kuantitas tanpa kualitas.
Kegaduhan tersebut terjadi terus-menerus dan didukung oleh kekuatan moral atas hirarki dalam tubuh birokrasi, sebagai pagar betis yang dapat meredam sekaligus menguntungkan.
Akibatnya, polemik ini akan menyisihkan minoritas. Menganggap mereka yang tidak sempat berorganisasi sebagai figuran semata dan kehilangan tempat yang layak untuk dipertahankan.
Kapan kita akan menjadi Lintas dimana background dan warna menjadi selaras dalam satu tujuan demi kehidupan bernegara dan berbangsa yang lebih baik.
Penulis: πΌπ§π§ππ£ππππ―