Jihan
LorongKa.com - Isu radikalisme pada dasarnya muncul seiring isu terorisme. Untuk skala Indonesia, isu global ini pada akhirnya mengerucut pada pendataan masjid, pesantren serta kampus yang pemerintah sebut telah terpapar paham radikal.
Dikutip dari Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan, memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. (humas.polri.go.id/2022/08/13).
Deradikalisasi Terhadap Islam
Sepatutnya dunia Pendidikan dilindungi dari faham sekuler - liberal yang saat ini massif dan sangat nyata kerusakannya bagi generasi. Monsterisasi paham radikalisme dan terorisme yang masuk ke dunia pendidikan adalah pola blow up opini untuk menutupi kasus besar seperti korupsi, kenaikan harga BBM, harga sembako yang sudah tidak laku lagi karena masyarakat semakin cerdas.
Kampus-kampus pun mendadak merumuskan program, mulai dari membentuk pusat kajian terorisme, menyusun program penanggulangan hingga pembekuan sejumlah lembaga kemahasiswaan yang terindikasi menganut paham radikal.
Di tengah kapitalisasi perguruan tinggi dan pembajakan intelektual berkedok World Class University, kampus kian fakum dari mimbar akademik yang penuh keterbukaan. Jika pun ada, mimbar akademik ini bersifat tebang pilih.
Radikalisme yang terlanjur mengangkat Islam dan syariatnya sebagai ajaran radikal, ampuh membuat akademisi turut menggebuk Islam dan menumbuhsuburkan wabah islamofobia di kampus.
Alih-alih memberikan ruang diskusi untuk mengkaji konsep Islam, segala hal yang berkaitan dengan Islam justru dihindari. Masih hangat dalam pemberitaan, ada seorang rektor yang melontarkan pendapat rasis di akun media sosialnya. Ini yang terekspos publik saja, di luar sana masih banyak perilaku rasis dan fobia dengan syariat Islam.
Privilese dunia akademik yang seolah menjadi menara gading, membuat kemewahan kampus semata untuk mengejar poin akreditasi. Narasi radikalisme yang sesungguhnya mengikuti kehendak sepihak pemerintah tidak mampu didudukkan sebagai isu yang membutuhkan kajian sebelum pihak kampus mengambil tindakan.
Alhasil, kampus mengekor agenda penanggulangan radikalisme tanpa diskusi, juga turut menyuburkan wabah islamofobia di kalangan intelektual. Terlebih lagi, isu pemberantasan radikalisme ini tegak atas isu intoleransi dan konflik antarumat beragama yang mengancam persatuan.
Negeri ini belum seutuhnya bebas dari ujian konflik, tetapi bukan konflik antarumat beragama. Negeri ini juga tidak mengalami krisis toleransi. Sebab, dari lima agama bahkan enam agama berikut aliran kepercayaan yang negeri ini akui, nyaris tidak terdengar riak konflik karena perbedaan keyakinan.
Sebaliknya, konflik yang terjadi di negeri ini lebih mengarah pada konflik separatisme. Bahkan, ketika pemerintah sibuk menabuh genderang perang terhadap radikalisme ini, kaum separatis masih mengibarkan isu separatisme. Taklid buta terhadap isu intoleran nyata telah membuat sebagian orang rabun untuk melihat masalah yang urgen bagi negeri ini.
Agenda deradikalisasi yang dijajakan di kampus-kampus sesungguhnya merupakan upaya sekularisasi yang menjauhkan spirit agama dari dunia akademik. Inilah mengapa dunia pendidikan kita seolah fobia dengan apa pun yang berbau Islam.
Padahal, di saat yang bersamaan isu moderasi beragama di dunia pendidikan–tidak terkecuali di perguruan tinggi–terus diaruskan. Dengan dalih menjauhkan mahasiswa dari sikap intoleran dan radikal, menjadi sosok moderat adalah pilihan.
Sosok moderat dipandang mampu menjembatani perbedaan seluruh konsep agama. Padahal, konsep ini justru mencetak karakter abu-abu bahkan mengaburkan ajaran agama yang ada. Solusi tunggal perspektif penguasa inilah yang justru berpotensi membuat kegaduhan dalam kehidupan beragama.
Kebangkitan Islam telah mendorong AS menjual isu karbitan dan membual di hadapan pemimpin negara-negara dunia akan adanya ancaman, berupa munculnya negara Islam yang akan mengoyak jalannya sistem positif yang ada di negara mereka. Di babak selanjutnya, negara-negara tersebut disibukkan dengan isu terorisme dan kriminalisasi ajaran Islam.
Meski berkilah bahwa memerangi terorisme tidak bermaksud memerangi Islam, tetapi faktanya, dengan mengkriminalisasi ajaran Islam, melakukan kriminalisasi terhadap ulama, merilis ciri-ciri individu yang terpapar radikalisme lekat dengan muslim kafah, kian menguatkan sinyal bahwa islamofobia nyata adanya.
Kritisme Intelektual Jangan Padam
Islam sesungguhnya sangat menentang segala macam kekerasan. Tindakan terorisme dengan alasan apa pun sangat bertentangan dengan konsep Islam.
Hanya saja, wajib dipahami bahwa terorisme adalah isu yang sengaja musuh-musuh Islam perdengarkan untuk menghalangi kebangkitan Islam. Melalui isu radikalisme, umat jauh dari ajarannya, dan secara umum masyarakat menjadi fobia terhadap Islam.
Padahal, sistem sekuler yang negeri ini adopsi telah terbukti menimbulkan banyak masalah. Rakyat yang hidup di bawah sistem ini terpuruk dan mengalami kesengsaraan tanpa henti. Sementara para penguasa mandul dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengurus rakyat.
Di tengah ketidakmampuan sistem dan kelemahan penguasa, isu radikalisme terus bergulir dan menghalangi cahaya Islam sebagai solusi. Masyarakat umum termasuk akademisi begitu skeptis terhadap Islam. Padahal, secara empiris Islam berkontribusi banyak terhadap dunia pendidikan.
Mendiskusikan Islam seolah mendiskusikan ajaran terlarang dan jauh dari peradaban. Sementara di saat yang sama, literasi Islam kafah dibekap konsep Islam moderat. Padahal, seluruh pencapaian kaum muslim saat Islam berjaya, berikut pencapaian mereka dalam dunia pendidikan, adalah buah dari penerapan Islam kafah.
Pemikiran politik, ketika disampaikan tentang kekuasaan yang merupakan titipan Allah dan yang berkuasa bukan kita, melainkan Allah sehingga wajar kaum muslimin meminta agar hukum-hukum Islam yang diterapkan.
Maka sebaliknya, mereka berpikir kalau menerapkan hukum Islam lantas akan dapat apa? Maka, tentu saja ini menjadi salah satu contoh sederhana yang sangat bertentangan bagi 'mereka'.
Oleh karena itu, sudah selayaknya perguruan tinggi membangkitkan daya kritis dan tidak ikut arus dalam agenda penanggulangan radikalisme. Jika kampus membiarkan dirinya larut mengikuti narasi penguasa, bukan tidak mungkin islamofobia di perguruan tinggi akan makin subur, sedangkan sekularisasi masif menghujani dunia kampus. Wallahu'alam bishawab.
Penulis: Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik).