Rizky Burti Aryanti
LorongKa.com - Menurut Gillies, rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks dengan aktifitas kegiatan padat karya, padat modal, dan padat teknologi sehingga membutuhkan pengelolaan secara efektif dan efisien. Tercapainya tujuan organisasi tidak lepas dari sumber daya yang dimiliki organisasi, yang dikuasai oleh sekelompok orang yang bertindak sebagai pelaku aktif. Pembangunan rumah sakit berarti tidak hanya menambah jumlah pegawai dan rumah sakit lainnya, tetapi juga memperluas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap dan memuaskan dalam segi pelayanan maupun peralatan rumah sakit.
Saat ini pelayanan rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ekonomi masyarakat, termasuk di Indonesia. Hal ini terungkap pada perubahan fungsi klasik pelayanan rumah sakit yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan saja terhadap pasien melalui rawat inap dan rawat jalan, kemudian bergeser ke pelayanan yang lebih komprehensif. Hal ini terbukti dari banyaknya rumah sakit yang berlomba-lomba dalam memasarkan produk unggulannya, seperti menyediakan program bayi tabung bagi pasangan suami istri yang kesulitan dalam mendapat momongan. Rumah sakit adalah suatu institusi kesehatan sekaligus merupakan unit komersial (baik negeri maupun swasta), dimana institusi kesehatan ini berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan berbeda dari waktu ke waktu baik rumah sakit kecil atau besar di seluruh Indonesia.
Dari penjelasan di atas diketahui betapa kompleksnya rumah sakit sebagai organisasi sehingga harus mempunyai pemimpin atau direktur utama yang berkompeten dalam menduduki jabatan tersebut. Namun, beberapa peraturan atau undang-undang dan Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) menyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus dari kalangan tenaga medis. Peraturan yang menegaskan bahwa seorang direktur utama rumah sakit haruslah seorang tenaga medis yaitu:
- Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Rumah Sakit yang dipertegas oleh Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan Permenkes Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
- Permenkes Nomor 971 Tahun 2009 tentang Kompetensi Pejabat Struktural Rumah Sakit
- Persyaratan untuk direktur dalam Kemenkes RI Nomor 1128 Tahun 2022
Adanya peraturan yang menetapkan bahwa hanya tenaga medis khususnya dokter yang menjabat sebagai direktur utama rumah sakit seolah menyatakan bahwa adanya pembatasan jabatan Direktur Utama Rumah Sakit yang hanya berlaku bagi tenaga medis saja. Hal ini dapat menimbulkan hambatan profesi yang dimaknai sebagai status monopoli dan diskriminasi terhadap profesi lain terutama perawat yang memiliki SDM terbanyak di rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang menangani permasalahan pasien yang berbeda-beda sebagai penerima pelayanan kesehatan, dimana karakteristik pasien sangat beragam, oleh karena itu mutu manajemen rumah sakit yang baik sangat diperlukan karena merupakan inti dari pelayanan kesehatan. Hal terpenting dalam menjadi direktur utama rumah sakit harus adalah harus bisa bertindak sebagai pengarah sehingga instrumentasi manajemen dapat berjalan secara kohesif dan dinamis.
Apabila ditinjau berdasarkan perkembangan perumahsakitan di dunia dan perkembangan serta kebutuhan layanan perumahsakitan di Indonesia, tenaga medis tidak mutlak menjadi direktur utama rumah sakit. Dalam beberapa poin peraturan di atas seperti pada Permenkes Nomor 971 Tahun 2009 tentang Kompetensi Pejabat Struktural Rumah Sakit Pasal 10 (2) disebutkan bahwa “Direktur Rumah Sakit telah mengikuti pelatihan perumahsakitan meliputi Kepemimpinan, Kewirausahaan, Rencana Strategis Bisnis, Aksi Rencana Strategis, Rencana Implementasi dan Rencana Tahunan, Tatakelola Rumah Sakit, Standar Pelayanan Minimal, Sistem Akuntabilitas, Sistem Remunerasi Rumah Sakit, Pengelolaan Sumber Daya Manusia”. Hal tersebut bukan hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis semata, tetapi juga tenaga profesional ataupun non medis yang ingin menjabat sebagai direktur rumah sakit. Seorang direktur rumah sakit juga harus mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang kerumahsakitan yang dapat diperoleh dari pelatihan, pendidikan, dan atau pengalaman bekerja di rumah sakit.
Tenaga non-medis dan tenaga profesional yang ingin menjadi direktur rumah sakit dapat mengikuti pelatihan perumahsakitan seperti yang ada dalam Permenkes Nomor 971 Tahun 2009 Pasal 10 (2) tentang Kompetensi Pejabat Struktural Rumah Sakit. Selain itu, tenaga professional maupun tenaga non-medis yang ingin menjabat sebagai direktur rumah sakit juga bisa meningkatkan pengetahuan dengan menempuh pendidikan magister (S2) ataupun doctor (S3) jurusan spesialisasi Manajemen Rumah Sakit yang telah ada di beberapa universitas di dalam negeri maupun luar negeri.
Apabila tenaga non-medis atau tenaga professional yang naik menjadi direktur utama rumah sakit, kemudian terjadi sebuah masalah yang berkaitan erat dengan medis pasien yang dianggap hanya tenaga medis atau dokter yang bisa menyelesaikan permasalahannya, maka apabila muncul pertanyaan “Apakah direktur utama rumah sakit yang bukan seorang tenaga medis bisa menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kesehatan atau medis? Padahal ia tidak ahli di bidang itu?”. Perlu digarisbawahi bahwa seorang direktur rumah sakit tidak bisa gegabah ataupun asal dalam setiap pengambilan keputusan. Ia tidak mungkin mengambil keputusan sendiri, harus melalui proses berupa rapat koordinasi dengan beberapa kepala bagian di rumah sakit. Apabila, permasalahan di rumah sakit berkaitan dengan medis maka yang mengusulkan penyelesaian masalah adalah kepala bagian medis.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa jumlah dokter yang dibutuhkan masih belum merata di Indonesia. Penunjukan dokter/dokter gigi sebagai direktur utama rumah sakit dapat berdampak langsung pada pelayanan kesehatan masyarakat, sehingga peran tenaga medis harusnya dibatasi hanya dalam peran fungsional daripada peran struktural sebagai direktur rumah sakit. Oleh karena itu, diperlukan sosok profesional baik dari kalangan tenaga keperawatan maupun non medis lainnya yang memahami manajemen rumah sakit dan memiliki jiwa kepemimpinan agar dapat diakui dan behak menjadi pemimpin di rumah sakit.
Penulis: Rizky Burti Aryant