Atia Maulia
LorongKa.com - Salah satu tradisi yang ada di Pekalongan yaitu megono gunungan. Tradisi ini merupakan perayaaan Syawal yang khas dari Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Perayaan yang dilakukan setelah puasa wajib selama enam hari setelah Hari Raya Idulfitri ini digelar di objek wisata Linggoasri.
Awal mula atau pertama kali megono gunungan dilaksanakan dari masa jabatan nya pak antonto hingga sekarang. Sebenarnya diadakannya megono gunungan ini berawal dari disengaja atau tidaknya, akan tetapi megono tersebut merupakan sebuah makanan khas dari Pekalongan yang menjadi sebuah icon.
Harapannya icon tersebut dapat di jadikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat secara bersama-sama atau pada intinya kegiatan ini sebagai pemersatu dan memiliki nilai yang khas tersendiri. Megono gunungan ini sudah dilaksanakan kurang lebih sekitar 18 tahun.
Seperti namanya, tradisi syawalan Megono ini merupakan makanan yang terbuat dari olahan nasi dengan gori atau serat nangka yang sudah diberi bumbu dan ditumis sehingga memiliki rasa yang gurih dan sedap.
Dalam tradisi ini, orang yang bertugas memasak adalah warga setempat, mereka mulai bergotong royong dalam memasak mulai dari malam syawal, tahun ini bertempat di rumah pak Toyib. Setelah nasi dan megono nya sudah matang.
Proses selanjutnya dalam pelaksanaan megono gunungan , pertama harus mempersiapkan sebuah ancak, yaitu wadah yang digunakan untuk meletakkan megono gunungan, yang bertujuan untuk menggotong. Di dalamnya terdapat sebuah anyaman bambu hyang dibikin sesuai dengan bentuknya yaitu mengerucut.
Sebelum di dalamnya di isikan nasi, terlebih dahulu anyaman bambu itu dikasih sebuah perekat, kemudian baru nasi. Setelah itu. Megono yang sudah siap untuk dibalurkan, maka dibalurkan. Kemudian, setelah megono tersebut sudah dibalurkan, diatas nya didekor dan lauk dibawahnya disusun dengan rapi. Setelah semuanya sudah rapi, maka megono gunungan tersebut diarak .
Pada tahun ini megono gunungan yang sudah dibuat itu dijadikan sebagai sebuah perlombaan. Ketika sudah selesai, maka masyarakat kemudian berebut untuk mengambil bagian dari megono tersebut. Acara tersebut dilanjutkan dengan makan bersama dan diawali dengan berdoa, bersyukur kepada allah. Akan tetapi ada sebagian masyarakat yang mempercayai, jika ia mengambil megono tersebut, bisa digunakan untuk menyehatkan badan, dan ada juga yang biasanya masyarakat mengambil untuk dibawa ke sawah untuk mempercepat atau memperbanyak panen.
Dengan adanya tradisi ini dapat menyatukan perbedaan, gotong royong dan susah senang bersama. Tujuan megono gunungan disektor ekonomi yaitu menjadikan sektor ekonomi menjadi tumbuh atau mengalami peningkatan. Khususnya pada masyarakat linggo yang sedang berjualan,
Secara tidak langsung mereka akan mengalami peningkatan dalam penjualan nya serta peningkatan terhadap para wisatawan. Tradisi Megono gunungan setiap tahun nya pasti mengalami peningkatan.
Kegiatan tradisi megono gunungan ini dulu nya dilaksanakan oleh pemerintah dan sekarang dilaksanakan untuk semua kecamatan sehingga masyarakat banyak yang ikut serta dalam kegiatan tradisi megono gunungan tersebut. Bahkan, sekarang ada beberapa perusahaan yang ikut serta mendukung dengan adanya tradisi tersebut.
Tradisi Megono gunungan memang sangat bagus untuk dilaksanakan setiap tahun nya. Megono gunungan ini memiliki sebuah simbolis, karena adanya rasa syukur kita kepada Allah SWT. Atas rizki yang diberikan kepada kita baik yang berasal dari bumi,
Dengan kesuburan tanah nya sehingga menghasilkan hasil bumi seperti halnya tanaman, sayuran maupun yang berasal dari langit yaitu dengan diturunkan nya hujan yang dapat menyuburkan tanah. Sedangkan bentuk gunungan yang mengerucut artinya bahwa satu titik yaitu kepada Allah.
Beberapa nilai yang terkandung dalam tradisi Megono Gunungan khas Kabupaten Pekalongan antara lain:
- Nilai spiritual: Megono Gunungan merupakan ritual yang diadakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Sehingga, tradisi ini mengandung nilai spiritual yang tinggi.
- Nilai kebersamaan: Megono Gunungan dilakukan dengan melibatkan banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya semangat kebersamaan dan persatuan dalam menjalankan tradisi ini.
- Nilai kearifan lokal: Megono Gunungan merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Kabupaten Pekalongan. Tradisi ini mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang turun-temurun dan berakar kuat dalam budaya masyarakat setempat.
- Nilai estetika: Megono Gunungan juga memiliki nilai estetika yang tinggi. Tampilan gunungan yang indah dan dihiasi dengan berbagai macam bahan alam menunjukkan keindahan.
- Nilai pendidikan: Megono Gunungan juga mengandung nilai-nilai pendidikan. Dalam tradisi ini, masyarakat diajarkan untuk bersyukur atas hasil alam yang diberikan Tuhan dan belajar untuk saling bergotong royong dalam menjalankan kegiatan sosial.
Adapun beberapa cara untuk melestarikan tradisi Megono Gunungan di Kabupaten Pekalongan:
- Mengajarkan tradisi ini pada generasi muda. Generasi muda perlu diajarkan tentang pentingnya melestarikan tradisi Megono Gunungan sebagai bagian dari warisan budaya lokal. Hal ini dapat dilakukan melalui program-program pendidikan seperti pelajaran sejarah, kebudayaan, atau bahasa daerah.
- Mengadakan festival Megono Gunungan secara rutin. Festival Megono Gunungan dapat diadakan secara rutin setiap tahunnya sebagai upaya untuk mempromosikan dan memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat luas. Festival ini dapat diadakan di tempat-tempat strategis seperti taman kota atau pusat perbelanjaan, serta diikuti
- Memberikan dukungan dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu memberikan dukungan dan perhatian terhadap melestarikan tradisi Megono Gunungan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan anggaran dan fasilitas untuk kegiatan promosi, pengembangan, serta perbaikan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan tradisi ini.
- Meningkatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam melestarikan tradisi Megono Gunungan. Masyarakat perlu didorong untuk terlibat aktif dalam persiapan dan pelaksanaan tradisi ini, baik sebagai peserta maupun sebagai pengunjung.
Penulis: Atia Maulia