Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik)
LorongKa.com - Tak dapat kita pungkiri bahwa hingga hari ini kemiskinan masih menjadi PR besar bagi negeri sekaya dan sebesar Indonesia. Bisa dibayangkan, di negeri dengan sumber daya laut dan perairan yang begitu luas, hutan rimba yang membentang, tanah yang demikian subur.
Sumber daya tambang yang depositnya begitu besar dan beraneka ragam, maupun kekayaan hayati baik hewan maupun tumbuhan yang begitu luar biasa, ternyata kemiskinan masih menjadi soal utama.
Dikutip dari tirto.id - Presiden Joko Widodo optimistis pemerintahannya bisa menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024. Penanggulangan kemiskinan ekstrem ini memang menjadi salah satu program di periode kedua Jokowi dengan target cukup ambisius, yakni nol persen.
Agenda ini menargetkan antara lain, mengentaskan kemiskinan ekstrem bagi semua orang yang saat ini berpendapatan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari pada 2030. (Sumber: tirto.id/09/06/2023).
Kapitalisme Biang Kemiskinan
Hasil persentase jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022 dan menurun 0,14 juta orang terhadap September 2021.
Garis Kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp535.547,00/kapita/ bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp397.125,00 (74,15 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp138.422,00 (25,85 persen).
Pada September 2022, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.324.274,00/rumah tangga miskin/bulan. (Sumber: bps.go.id/16/01/2023).
Selain itu, menurut Data Global Wealth Report tahun 2018 yang dirilis Credit Suisse meriliskan bahwa salah satunya disebutkan, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk.
Yang artinya, pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini ternyata hanya dinikmati oleh sebagian orang-orang kaya saja. Dan sekalipun pemerintahan mengklaim bahwa indeks ketimpangan (GINI Ratio) terus menurun, bahkan hingga titik terendah sepanjang 7 tahun, yakni 0,389.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia tetap saja masih cukup tinggi. Oleh karenanya wajar jika besar dan beragamnya sumber daya ekonomi yang dimiliki Indonesia ternyata tak menjamin seluruh rakyatnya bisa hidup sejahtera.
Fakta-fakta inilah yang membuktikan bahwa sistem demokrasi hari ini telah gagal mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial yang kian besar di tengah masyarakat. Bahkan menjadikan kemiskinan dan gap sosial ini justru sebagai dampak penerapan kebijakan ekonomi mereka yang sangat eksploitatif.
Rezim penguasa hari ini memang sadar mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme sebagai aturan dalam mengurusi perekonomian negara dan mengurusi urusan umat. Sementara sistem ini tegak di atas asas yang batil yakni sekularisme yang menafikan peran agama (aturan halal haram) dalam pengaturan kehidupan.
Sekaligus tegak di atas pilar yang rusak yakni prinsip liberalisme dalam kepemilikan, prinsip riba dalam transaksi ekonomi dan prinsip menihilkan peran negara dalam pengurusan urusan rakyat, termasuk dalam distribusi kekayaan di tengah umat.
Jadilah sistem ini sebagai jalan penguasaan kekayaan oleh segelintir orang saja. Kemiskinan justru diproduksi secara struktural. Bahkan dalam konteks internasional, sistem ini telah terbukti menjadi jalan penjajahan negara besar atas negara yang lebih kecil. Karena yang berlaku dalam sistem ini akhirnya adalah prinsip freefight liberalisme yang memungkinkan si kuat memangsa si lemah dan mendorong terjadinya akumulasi kapital pada si kuat.
Karenanya, ketimpangan sosial pun terus melebar. Yang kaya makin kaya, yang miskin kian miskin. Dengan kata lain, kondisi hari ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme. Sehingga ikhtiar apapun untuk mengeliminasi kemiskinan dan ketimpangan sosial, hanya akan berujung pada kegagalan.
Meratanya kesejahteraan dipastikan takkan pernah menjadi kenyataan. Terlebih, dalam sistem ini, kekuatan rezim penguasa lazimnya disetir oleh kekuatan pengusaha alias kekuatan kapitalis. Mengingat sistem ini bisa hidup memang atas kolaborasi keduanya dalam bentuk hubungan simbiosis mutualisme.
Kesejahteraan Dalam Sistem Islam
Kondisi ini tentu berbeda secara diametral dengan Islam. Sebagai din yang berasal dari Allah SWT., Islam memiliki seperangkat aturan yang jika diterapkan akan mampu menjamin kesejahteraan bagi semua Rahmatan lil ‘alamin.
Sistem ekonomi Islam tegak di atas prinsip kepemilikan yang khas, yang membagi antara kepemilikan negara, kepemilikan umum dan kepemilikan individu. Kepemilikan umum semacam kekayaan alam yang jumlahnya tidak terbatas, diharamkan untuk dikuasai oleh individu bahkan oleh negara sebagaimana yang justru terjadi pada sistem kapitalisme.
Sebab Allah SWT., sebagai pemegang kedaulatan tertinggi alias sumber hukum memang telah menetapkannya sebagai milik umum. Dan adapun negara, diperintah oleh syariat untuk mengelolanya dan digunakan hasilnya untuk modal menyejahterakan rakyat, khususnya melalui jaminan pemenuhan atas hak kolektif rakyat, semacam kesehatan, pendidikan, keamanan, layanan infrastruktur dan fasilitas umum lain sehingga tercipta lingkungan hidup yang layak dan kondusif, dan lain-lain.
Sehingga dari sini saja kita bisa melihat betapa negara dalam sistem Islam akan punya sumber pemasukan keuangan yang sangat banyak. Terlebih, bukan kebetulan jika Allah menakdirkan seluruh wilayah negeri Muslim memiliki berbagai sumber kekayaan yang melimpah yang dibutuhkan oleh penduduknya.
Belum lagi sumber kekayaan milik umum yang berupa padang gembalaan dan perairan yang potensi pengembangannya juga sangat luar biasa. Semua ini kemudian ditopang oleh aturan-aturan lain yang wajib di terapkan oleh negara. Termasuk penegakan hukum terkait mekanisme penafkahan yang menjadi gerbang awal jaminan kesejahteraan di level individu per individu.
Negara akan menjamin tiap ayah atau para wali mendapatkan pekerjaan yang layak yang memungkinkan bagi mereka memperoleh harta untuk menafkahi keluarga yang ditanggungnya. Negara akan menerapkan sanksi tegas atas pelalaian hak nafkah yang memungkinkan terjadinya penelantaran anak.
Negara akan menjamin penuh hak nafkah orang-orang yang tak memiliki ayah atau penanggungjawab nafkah, seperti anak-anak yatim, para janda, orang-orang tua dan orang-orang berkebutuhan khusus.
Inilah gambaran global bagaimana Islam menjamin kesejahteraan. Tak hanya dengan pendekatan agregat atau rata-rata sebagaimana dalam sistem sekarang, tapi justru dengan pendekatan orang per orang. Dan penerapan sistem ini secara konsisten, merupakan kewajiban yang melekat pada amanah kepemimpinan.
Yang suatu saat akan menjadi sumber kebahagiaan atau malah menjadi sumber sesalan bagi mereka yang memegang tampuk kekuasaan atau kepemimpinan. Dengan sistem seluar biasa inilah, di masa lalu, belasan abad umat Islam hidup dalam taraf kesejahteraan yang tidak bisa dikalahkan oleh sistem manapun.
Umat Islam kala itu, benar-benar mampu tampil sebagaimana karakter yang Allah sematkan bagi mereka. Khairu Ummah. Sebaik-baik umat.
Kala itu, umat Islam tampil sebagai pioner peradaban dunia. Negerinya menjadi sumber ilmu pengetahuan dan sumber orientasi bagi negeri-negeri lainnya.
Bahkan negara Khilafah, tampil sebagai negara adidaya yang sangat disegani musuh karena wibawa dan kebijakannya yang terpancar dan membawa kebaikan yang dirasakan juga oleh lawan. Inilah yang membuat negara Khilafah sangat sulit ditaklukan.
Bahkan menarik berbagai bangsa untuk bergabung tanpa perang ke dalam wilayah Khilafah hingga kekuasaannya membentang meliputi 2/3 dunia. Cukuplah apa yang digambarkan oleh seorang orientalis ternama bernama Will Durant sebagai bukti yang menggambarkan kehebatan sistem Islam. “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa. Wallahu'alam bishawab.
Penulis: Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik).