OPINI, Lorongka.com— Suatu ketika selepas hujan, jalan-jalan masih sepi. Aroma jalan mulai menyengat. Genangan air mata tiba-tiba menghujam di wajah pucat para ibu-ibu di kampung kecil itu.
Mereka menangis bukan sebab kehilangan anak kucing, bukan pula sebab suaminya gagal memberinya keturunan lagi, tetapi mereka sedang berduka perihal menyaksikan seorang pemuda gagah dan terbilang cerdas terkapar dengan seluruh tubuh yang nyaris tak dikenali.
Kepingan daging dari tubuh pemuda itu hancur usai melompat dari ketinggian pada gunung di atas rumah tempat tinggalnya.
Para ibu-ibu yang di lokasi saling berbisik penuh duka, di mana mereka tahu lelaki tersebut belakangan ini memang selalu mencari cara untuk menyelesaikan hidupnya segera dengan cara-cara yang kejam.
Bahkan sebelumnya ia pernah mengikat tali di lehernya lalu digantungnya di atas pintu kamar, beruntung ibunya segera datang dan menggagalkan aksinya. Ia lalu berinisiatif untuk cari kesempatan dengan mengamati sekeliling yang hening, lalu memulai aksinya.
Ia berjalan naik ke gunung, ke tempat yang curam kemudian melompat dan tehempas di tanah, hancur berkeping. Orang-orang lalu menghampirinya, sehingga terbentuklah kerumunan.
Sebagian tangis meraung menyelimuti, beberapa pemuda-pemudi lainnya yang turut hadir justru mengutuk, "Bodoh sekali dia, bunuh diri hanya sebab cintanya ditolak. Padahal begitu banyak manusia di bumi" cetusnya merasa paling benar dengan segenap logikanya menilai.
Sepasang kekasih yang bernostalgia dengan masa lalunya kerap terlihat istimewa, romantis. Tetapi di balik itu semua, selalu ada konsekuensi yang lebih mengerikan. Tak sedikit pemuda yang ditinggal pergi kekasihnya berakhir dengan tragedi yang menyedihkan.
Bila seluruh tubuh dikuasai oleh emosi, sehebat-hebatnya intelektual, setajam-tajamnya logika, akan lumpuh juga akhirnya. Demikian yang terjadi dengan pemuda yang bunuh diri di atas, secara logika ia tentu tak ingin mengakhiri hidupnya dengan miris, hanya saja logika selalu kalah dengan rasa yang menggebu-gebu.
Bukan hanya itu, dalam kondisi emosional yang kacau, depresi tingkat tinggi oleh beban pikiran yang tak terkendali. Seseorang selalu berpikir semua sia-sia, putus asa. Sehingga pada dasarnya setiap orang berpotensi melakukan bunuh diri.
Ketua Perhimpunan Psikiatri Indonesia, Teddy Hidayat, pernah berkata bahwa semua orang memiliki kecenderungan bunuh diri, walau pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Artinya setiap orang bisa saja tak terduga bernasib mengerikan bila terjebak dalam beban yang tak kunjung menuai jalan keluar lalu memilih mengakhiri semuanya dengan cara yang mengenaskan.
Kembali ke persoalan semula. Terkait lelaki yang bunuh diri itu, mendapat kecaman serta diapresiasi berbagai kalangan lantaran dianggap sebagai lelaki yang mampu melakukan pilihannya dengan lancar, di mana tak semua orang bisa melakukannya. Lagi pula hal tersebut wajar secara emosi sebagai jalan terakhir dari penderitaan yang memang sungguh tidak rasional.
Belum lagi dalam hubungan asmara, oleh sepasang remaja. Bukankah hubungan percintaan selalu irasional?
Sialnya, setiap ada kejadian seperti itu yang disalahkan selalu saja yang bunuh diri. Padahal tak ada orang di dunia ini yang terlahir lalu tumbuh besar dan berniat ingin berakhir bunuh diri. Hanya saja, lingkungan serta pola asuh dan metode pendidikan yang membentuk kepribadian, pun orang yang berakhir bunuh diri.
Menurut Asosiasi Internasional untuk Pencegahan Bunuh Diri, setiap 40 detik, seseorang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Hal ini sama dengan sekitar 800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya, sebagaimana dilansir Kompas.com.
Sebagai manusia biasa tentu hal tersebut menjadi wajar, bila dibandingkan dengan orang-orang terkenal di dunia yang juga melakukan hal serupa. Banyak informasi yang menyebut pemimpin diktator sekelas Hitlelr saja berakhir bunuh diri, belum lagi bintang music legendaris seperti Kurt Cobain, dan Michael Hutchance, juga mengakhiri hidupnya dengan cara tragis.
Menjadi manusia tidaklah mudah, sebab dalam kondisi tersulit seseorang tak akan ada siapapun yang memahami sampai pada akar persoalan. Sementara dalam kondisi tersebut banyak orang memilih alternatif minum alkohol, ke pesta, ke gunung atau ke pantai mencari ketenangan. Tak jarang pula minum obat-obatan hingga over-dosis, meninggal.
Pada hidup yang edan ini, semua bisa terjadi. Tak ada jaminan manusia selalu baik dan selamat dengan umur yang panjang serta memuaskan. Semua tampil abu-abu, manusia hanya bisa menerka-nerka tentan apa-apa yang akan terjadi dalam hidupnya.
Oleh karena itu, kita hanya bisa untuk terus membuka wawasan, belajar banyak hal agar bisa memaklumi segala persoalan tanpa harus berakhir tragis.
Penulis: Nuratiqah