Etik Rositasari, Mahasiswa Magister dan Aktivis Dakwah Kampus |
LorongKa.com - Era globalisasi seperti saat ini memang sangat dirasakan dampaknya oleh umat manusia secara keseluruhan. Perkembangan teknologi, misalnya, membuat segala sesuatu dapat dilakukan dengan cepat, tanpa membutuhkan waktu yang lama maupun proses yang rumit, mulai dari berkirim pesan, jual beli, mengirimkan barang dan lain sebagainya.
Kemudahan-kemudahan tersebut tanpa disadari membuat masyarakat ternyamankan dengan gaya hidup serba instant. Bahkan, generasi yang lahir di era ini, yang diberi nama generasi Z, dikenal sebagai generasi yang enggan mengeluarkan usaha lebih untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk dalam hal mendapatkan cuan
Tak terkecuali melalui cara-cara yang kotor seperti judi. Apalagi dengan adanya fitur teknologi yang makin canggih, kini judi bahkan kian mudah dilakukan. Hanya dengan mengunduh aplikasi judi online di smartphone masing-masing, masyarakat bisa bermain judi dengan mudah. Tak pelak, tentu ini menimbulkan kekhawatiran mengingat jumlah peminatnya pun semakin lama semakin bertambah.
Dilansir dari cnnindonesia.com (26/8/23), berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), penyebaran uang melalui transaksi judi online mengalami kenaikan yang signifikan, dari yang semula hanya mencapai 57 triliun rupiah di tahun 2021 menjadi 81 triliun rupiah di tahun 2022. Pun demikian dengan jumlah transaksi mencurigakan terkait judi online yang juga mengalami peningkatan hingga 11.222 laporan dari yang semula hanya berkisar 3.000 an laporan.
Ironisnya, mereka yang melakukan judi online ini bukan hanya dari kalangan orang dewasa saja. Ibu rumah tangga bahkan anak di bawah umur yang masih duduk di bangku SD pun nyatanya banyak yang kecanduan. Sementara itu, masih berdasarkan data dari PPATK, mayoritas masyarakat yang terdeteksi bermain judi online justru berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dengan penghasilan rata-rata di bawah 100 ribu rupiah per hari. Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah, merasa prihatin. Pasalnya, menurutnya, pendapatan 100 ribu rupiah sebenarnya cukup untuk membeli kebutuhan pokok keluarga, seperti beras bahkan susu.
Menyikapi maraknya kasus judi online yang semakin memprihatinkan ini, pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai strategi penanggulangan, termasuk diantaranya memblokir situs-situs yang disinyalir sebagai situs judi online. Berdasarkan laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak Juli 2018 hingga Agustus 2023, pemerintah mengklaim telah memblokir sekitar 40 ribu situs judi online. Bahkan, setiap harinya puluhan aplikasi dan ribuan situs berusaha di-take down.
Faktanya, strategi ini tak berjalan sesuai harapan. Situs situs tersebut tetap saja menjamur. Seperti “mati satu tumbuh seribu”, satu situs diblokir, seribu situs lain muncul lagi dan lagi, bahkan dalam hitungan detik. Hal ini tak lepas dari mudahnya para bandar judi online membuat situs-situs judi baru dengan menggunakan domain yang berbeda.
Sementara itu, para pengakses judi online pun tak kalah kehabisan akal. Dengan memanipulasi jaringan menggunakan VPN (virtual private network) yang dapat diperoleh dengan mudah bahkan tak berbayar, mereka kembali dapat mengakses situs ilegal tersebut meski telah diblokir.
Kondisi tersebut diperparah dengan upaya penegakan sanksi terhadap para bandar judi yang terkesan setengah hati. Nyatanya, walaupun ribuan situs judi online telah dibabat, oknum-oknum dibaliknya selalu lolos dari proses hukum. Dalam beberapa kasus, bahkan aparat, yang seharusnya menjadi penegak hukum, justru turut serta menjadi bagian dari oknum tersebut.
Melihat strateginya tak berhasil, pemerintah justru merespon dengan kalimat yang menyakitkan. Alih-alih melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang dibuat, Menkominfo justru sibuk membandingkan Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Singapura dan Kamboja yang malah melegalkan aktivitas judi online. Sontak, ini membuat Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, turut berkomentar. Menurutnya, seharusnya Menkominfo fokus memberantas judi online, bukan malah membandingkan bandingkan legalisasinya dengan negara lain.
Maraknya ajang perjudian sebenarnya cukup menjadi cerminan bahwa sistem hari ini gagal mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Buktinya, untuk mengais pundi rupiah masyarakat sampai rela menggunakan jalan ‘kotor’ termasuk judi. Setali tiga uang, fenomena ini juga menjadi gambaran tidak berhasilnya sistem pendidikan saat ini menelurkan generasi berakhlak mulia. Alih-alih memikirkan kontribusi terbaik yang akan dipersembahkan, para pemuda dan agen intelektual justru sibuk menjadi pengakses situs-situs judi online yang notabene merupakan perbuatan yang terlarang dan merugikan.
Ini tidaklah mengherankan mengingat sistem yang berlaku saat ini menginduk kepada sekulerisme yang meniscayakan terpinggirkannya aturan agama dalam mengatur kehidupan. Padahal aturan agama berperan penting sebagai kompas pengontrol individu saat bertingkah laku. Maka, wajar jika yang terjadi saat ini, seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pimpinan hingga akar rumput, bisa dengan mudahnya melakukan perbuatan terlarang.
Begitulah kolaborasi sempurna dari kerusakan sistem kehidupan saat ini. Dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi merupakan kerusakan sistemik yang menyasar seluruh sektor kehidupan manusia. Maka, solusi penyelesaiannya pun sudah seharusnya bersifat sistemik dan melibatkan peran multisektor, termasuk terkait pemberantasan judi online.
Sejatinya, jika kita mengkaji Islam secara mendalam, solusi semacam itu telah Islam sediakan bahkan sejak ratusan tahun yang lalu. Adapun sebagaimana sudah diketahui, bahwa Islam dengan tegas melarang perbuatan judi. Oleh karena itu, saat aturan tersebut benar-benar diterapkan, seluruh pilar kehidupan mulai dari keluarga, masyarakat dan negara akan saling bekerjasama menghindarkan individu dari perbuatan tersebut dengan bersandar pada landasan ketakwaan.
Dimulai dari keluarga sebagai pilar pertama pembangun kepribadian, maka ia akan menanamkan akidah yang kokoh pada individu sehingga output yang terbentuk adalah generasi yang selalu dilingkupi perasaan takut melakukan perbuatan maksiat termasuk judi. Selanjutnya, dalam kehidupan bermasyarakat, umat yang tersuasanakan dengan Islam, juga akan melakukan pengawasan sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tentunya dengan standar halal dan haram yang telah diatur dalam Islam.
Dua kondisi tersebut disempurnakan dengan hadirnya peran negara sebagai pengurus urusan-urusan umat. Alih-alih menjadikannya sebagai aji mumpung mendulang kekayaan dan jabatan, para pemimpin yang telah diserahi amanah akan melakukan pe-riayahan sebaik mungkin, termasuk menyelesaikan problematika yang terjadi secara total sebagai bagian dari ketaatan pada Allah. Ia juga tak akan ragu menjatuhkan sanksi yang bersifat memaksa dan mencegah terulangnya pelanggaran terhadap para pelanggar syariat, termasuk para bandar dan pelaku judi, tanpa memandang status sosial mereka.
Integrasi peran multisektor ini hanya akan terwujud dan berjalan secara efektif jika Islam-lah yang menjadi sistem kehidupan. Alih-alih akan memperpanjang masalah layaknya yang terjadi di sistem sekuler saat ini, sistem Islam akan menjamin penyelesaian seluruh problematika yang dialami manusia termasuk terkait judi online ini. Maka, sudahlah sepantasnya umat Islam beralih kepada Islam sebagai satu-satunya harapan. Bukankah kita merindukan hidup dalam kehidupan sejahtera penuh berkah dalam naungan ridha Ilahi?