LorongKa.com - Beberapa bulan yang lalu, tepatnya di akhir Juli, polemik sampah kembali mencuat di di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah yang menjadi salah satu target vital wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Dilansir dari gatra.com (28/7/23), problem muncul setelah Pemerintah DIY memutuskan untuk menutup sementara TPA Piyungan yang merupakan TPA utama bagi masyarakat Sleman. Dampaknya, Kota Jogja yang dikenal dengan wisata sejarah dan budaya tersebut harus tercemar dengan adanya tumpukan sampah di berbagai sudut kota.
Tak ingin tercoreng citranya sebagai Kota Wisata, beberapa langkah mitigasi pun ditempuh, salah satu diantaranya adalah dengan pengalokasian sampah ke TPS alternatif di Cangkringan. Namun demikian, nyatanya, langkah ini pun cenderung menuai kontra dari masyarakat sekitar. Sejak 2022 sampai 2023, penutupan TPS Piyungan telah dilakukan beberapa kali sebagai upaya pemerintah untuk melakukan perluasan dan pembukaan lahan transisi di TPST Piyungan. Namun faktanya, alih alih menyelesaikan masalah, tindakan tersebut agaknya hanya merupakan penundaan polemik sampah menjadi bom waktu bagi masyarakat DIY.
Sejatinya, untuk mengatasi situasi darurat sampah di Yogyakarta diperlukan pengkajian mendalam dari hulu ke hilir. Jadi tak semata-mata secara sembrono menyalahkan masyarakat yang ogah melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Lebih dari itu, polemik ini sebenarnya merupakan kalkulasi dampak multisektor.
Ada peran produsen sebagai sektor hulu yang enggan memperhatikan dampak dari output produk yang dihasilkan terhadap lingkungan, pemerintah yang minim pengawasan terhadap implementasi sanksi terkait pengelolaan sampah hingga masyarakat saat ini yang memang cenderung bercorak konsumtif dan individualis. Masing masing dari sektor tersebut mempunyai kontribusi tersendiri mencetuskan problematika ini.
Di luar itu semua, sebenarnya ada keterkaitan pula masalah sampah ini dengan problem riset negeri yang juga tak kalah populer terjadi. Sebagaimana sudah awam diketahui bahwa faktanya riset di Indonesia saat ini menuai berbagai macam problematika. Problematika tersebut, mulai dari infrastruktur, finansial, manajemen riset hingga ketergantungan pada negara maju, membuat riset-riset negara kita tak lagi berdaulat. Padahal, kemandirian riset ini sangat penting untuk menentukan kebermanfaatan riset nantinya bagi kemaslahatan masyarakat.
Saat ini, memang, arus penelitian baik dari badan milik pemerintahan, swasta maupun intelektual secara mandiri bisa dibilang sangat masif. Sayangnya, beberapa dari peneliti justru mentok pada tataran publikasi hasil riset dalam jurnal-jurnal internasional saja. Tak terkecuali dalam penelitian yang mengupas tentang sampah.
Sejatinya saat ini, beberapa peneliti sedang berlomba mengembangkan penelitian terkait nanomaterial. Struktur materi yang bersifat mikroskopik ini, faktanya setelah diteliti mempunyai segudang manfaat, seperti mendukung perbaikan kesuburan tanah dan sebagai bahan dasar pembuatan fototerapi. Menariknya, bahan dasar dari nanomaterial ini sebenarnya dapat diperoleh melalui beberapa jenis sampah yang justru saat ini menjadi polemik karena overload.
Tentu, fakta ini sebenarnya menjadi angin segar bagi pemerintah maupun masyarakat sendiri. Pemerintah dapat terbantu dengan adanya pengelolaan sampah sehingga volumenya tak menumpuk, sementara itu masyarakat pun dapat hidup lebih sehat dan nyaman dengan adanya lingkungan yang bersih dari sampah. Tak lupa, baik pemerintah maupun masyarakat juga akan mendapatkan teknologi teknologi mutakhir melalui pengembangan penelitian yang dihasilkan dari sampah.
Sejenak integrasi antara pemerintah, peneliti dan masyarakat tersebut terasa mudah saja dan amat menjanjikan. Akan tetapi fakta di lapangan ternyata tak menunjukkan demikian. Penyebabnya jika dikulik, agaknya kembali terletak pada ketidak berdaulatan riset yang ada di negara kita. Setidaknya jika dijabarkan, polemik tersebut meliputi beberapa hal.
Pertama dari faktor internal para peneliti sendiri. Adanya sistem sekulerisme yang menjauhkan agama dari pendidikan menjadikan para akademisi seakan kehilangan ruh sejati dari intelektualitas. Alhasil, adanya tanggung jawab keilmuan bukan lagi menjadi hal prioritas. Maka, alih-alih berpihak kepada masyarakat, banyak dari para akademisi saat ini yang justru berlomba melakukan riset hanya sekedar untuk meraih keuntungan pribadi.
Selain faktor internal tersebut, ada beberapa faktor eksternal yang juga menjadi sumber polemik riset saat ini. Pertama, terkait dengan tingginya ketergantungan riset Indonesia terhadap impor bahan kimia serta peralatan penunjang riset dari luar negeri. Fenomena ini tak pelak, membuat beberapa penelitian di Indonesia akhirnya banyak yang mangkrak dan hanya berujung pada tataran publikasi ilmiah.
Kedua, terkait dengan pengadopsian model riset standar global yang berbasis triple helix (Academic-Business-Government). Model ini meniscayakan adanya koalisi antara peneliti dan industri dengan pemerintah sebagai fasilitator dan penjamin kelancaran kerjasama tersebut. Walaupun terkesan ideal, faktanya, dalam sistem kapitalisme saat ini, corak industri hanya berorientasi untuk meraup keuntungan semata. Alhasil, komersialisasi riset tak pelak terjadi.
Ketiga, terkait dengan ekosistem riset saat ini yang lahir dari konsep ekonomi kapitalis yaitu Knowledge Based Economy (KBE). Konsep ini membuat riset pun mayoritas hanya didedikasikan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Alhasil, riset yang tak berdampak, bertentangan atau tak memenuhi kriteria tersebut, cenderung diabaikan. Polemik polemik tersebut tentu mengotori hakikat dari riset itu sendiri.
Menyoal polemik tersebut, sejatinya kita perlu mengembalikan lagi hakikat dari riset itu sendiri. Selain itu, perbaikan sistemik dari pengelolaan riset juga penting dilakukan untuk mewujudkan riset yang bukan berorientasi pada industri namun mampu menjamah polemik yang dialami masyarakat.
Dalam Islam, sebenarnya pengelolaan riset telah diatur secara komprehensif melalui perwujudan sistem politik Islam. Sistem politik Islam ini, yang didalamnya terkandung pula sistem pendidikan Islam, akan mewujudkan para intelektual yang mempunyai visi dan misi Islam yang berlandaskan pemahaman bahwa akan ada pertanggungjawaban atas ilmu yang dimiliki. Maka, mereka saling berlomba untuk berkiprah melalui keilmuan masing masing untuk mewujudkan solusi terbaik untuk umat.
Selain itu, ekosistem riset yang sehat pun akan terwujud. Dengan adanya negara yang bertugas sebagai ra’in (penanggung jawab segala urusan umatnya) maka pemerintah akan mensupport penuh riset riset yang dilakukan mulai dari pengadaan, pengelolaan, pendanaan, infrastruktur, peningkatakan SDM hingga pemilihan topik riset yang menjadi prioritas di tengah tengah umat.
Penerapan tersebut ditunjang dengan sistem ekonomi Islam yang meniscayakan pengelolaan kekayaan berbasis syariah. Dampak dari sistem ini, negara akan mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk mendanai dan memfasilitasi berbagai jenis riset yang dilakukan.
Tak perlu jauh jauh, daulah Islam pada masa Abbasiyah telah menunjukkan bukti nyata bahwa negara yang didasarkan dengan sistem Islam yang komprehensif mampu menelurkan peneliti peneliti terbaik pada masanya. Sebut saja, Abbas Ibn Firnas, penemu mesin terbang, Maryam Al Astrulabi, penemu navigasi, dan lain sebagainya.
Begitulah suasana riset saat Islam menjadi standarnya. Pada akhirnya, penyelenggaraan riset akan berkolerasi penuh dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Tidak ada lagi dominasi industri kapital pada riset. Para periset melakukan riset murni ingin memberikan karya intelektualistasnya untuk umat dengan dukungan pemerintahan Islam yang menjamin hasil riset termanfaatkan dengan baik.
Penulis: Etik Rositasari