Ryang Adisty Farahsita, M.A. Pegiat Opini, Aktivis Muslimah
LorongKa.com - Kesetaraan gender acap kali dikampanyekan sebagai solusi menuntaskan masalah penderitaan perempuan. Kedepannya, masjid Wanitatama diharapkan dapat difungsikan selaras dengan agenda ini. Namun, benarkah kesetaraan gender dapat menyelesaikan masalah penderitaan perempuan?
Kesetaraan gender didefinisikan sebagai kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati pembangunan tersebut. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, UNFPA dan BKKBN, 2004)
UNESCO mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kebebasan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotip peran gender yang kaku dan prasangka-prasangka terhadap salah satu jenis kelamin.
Perjuangan kesetaraan gender berangkat dari pemikiran bahwa penderitaan perempuan termasuk didalamnya penindasan dan kekerasan terjadi karena nihilnya keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu diasumsikan harus ada kebangkitan perempuan yang berangkat dari spirit keadilan dan kesetaraan gender. Singkat kata, ada sebuah kesepakatan pemahaman bahwa perempuan akan terbebas dari penindasan, kekerasan, dan diskriminasi apabila laki-laki dan perempuan mencapai keadilan dan kesetaraan gender.
Permasalahan yang digambarkan memang nyata bahwa perempuan saat ini memang tidak baik-baik saja. Banyak kasus kejahatan dan ketidakadilan terjadi pada perempuan. Narasi kesetaraan yang digambarkan oleh konsep kesetaraan gender seolah terdengar indah dan logis. Akan tetapi apakah paham yang mendasari lahirnya ide ini benar? Selain itu apakah benar akar permasalahan perempuan adalah ketiadaan kesetaraan gender?
Konsep kesetaraan gender digagas oleh Barat dengan berbagai pemufakatan internasional tentang gender semisal CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs, ataupun SDGs. Alih-alih menyelesaikan masalah penderitaan perempuan, kesetaraan gender justru lebih berorientasi materialistik untuk pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan hegemoni kapitalisme saat ini.
Terbukti dari indikator yang menilai tingkat keseriusan negara dalam menerapkan nilai-nilai kesetaraan gender, dimensi yang digunakan untuk mengukur capaian target sangat berhubungan erat dengan target kapitalistik. Dimensi kesehatan reproduksi (kespro), pemberdayaan dan partisipasi pasar tenaga kerja dikorelasikan dengan seberapa besar manfaat yang akan diberikan para pekerja perempuan dalam proses produksi.
Laporan yang dirilis WEF, yakni Global Gender Gap Report, memberi tolok ukur pada 153 negara terhadap partisipasi ekonomi, capaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, pemberdayaan politik, serta profesi masa depan.
WEF menyatakan membutuhkan 257 tahun untuk menutup kesenjangan gender terkait capaian ekonomi. Karena itu, faktor kesehatan reproduksi, kesehatan, dan kelangsungan hidup menjadi perhatian. Jelas dari sini dapat ditarik kesimpulan perhatian diberikan bukan semata-mata untuk menyehatkan perempuan atau meminimalisasi AKI (Angka Kematian Ibu) namun untuk capaian ekonomi.
Capaian pendidikan bagi perempuan jelas dikorelasikan dengan kesempatan mendapatkan akses ekonomi (lapangan pekerjaan, permodalan ataupun pasar). Sedangkan pemberdayaan politik mutlak dibutuhkan untuk membuat regulasi yang berpihak pada mobilisasi perempuan yang berefek pada efisiensi angkatan kerja perempuan. Terlihat dari fakta ini, bahwa kesetaraan gender jelas memiliki imbas signifikan pada perputaran roda ekonomi kapitalisme.
Disisi lain, anomali justru terjadi untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah dan penderitaan perempuan.
Ada sebuah fenomena yang disebut paradoks Nordik. Fenomena ini terjadi di negara-negara Skandinavia. Skor dalam Indeks Kesetaraan Gender Dunia di negara-negara Skandinavia meraih tingkat yang tertinggi. Ironisnya, perempuan Skandinavia juga menderita tingkat kekerasan oleh pasangan intim dengan prosentase yang lebih tinggi daripada negara bagian Eropa yang lain.
Menurut data yang dihimpun oleh akun Instagram @kesetaraangenderunmasked menyebutkan bahwa prevalensi kekerasan seumur hidup terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan di Denmark mencapai 32%, Finlandia 30%, Swedia 28%.(Sumber: Laporan 2016 diterbitkan dalam jurnal Ilmu Sosial dan Kedokteran). Sedangkan persentase perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual di Swedia mencapai 81%, Denmark 80%, Prancis 75%, dan Inggris 68% (Sumber: Perusahaan riset global IPSOS, 2018).
Inggris sebagai salah satu negara tempat bangkitnya seruan kesetaraan gender dua abad yang lalu, justru trend proporsi kasus yang dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah tangga naik 18% dari 2020-2021 dan 36% dari 2019-2020.
Menurut laporan Centers for Disease Control and Prevention yang dikutip oleh Reuters, di Amerika Serikat hampir 20 persen perempuan pernah diperkosa setidaknya sekali. Bahkan satu dari setiap empat perempuan dilaporkan pernah diserang secara seksual oleh mitra intimnya.
Setelah melihat fakta dan data-data tersebut, lantas apakah relevan jika dinyatakan ide kesetaraan gender dapat mengangkat penderitaan perempuan? Apakah benar program kesetaraan gender tulus untuk perempuan? Atau justru ini hanya mantra yang dirapal berulang untuk mengelabui perempuan demi kepentingan ekonomi para kapitalis?
Tanpa bermaksud menggembosi upaya pengentasan penderitaan dan ketidakadilan yang menimpa perempuan, namun bukankah sudah seharusnya sesuatu yang tidak wajar dikritisi?
Penulis: Ryang Adisty Farahsita, M.A.