Ilustrasi
PUISI, Lorongka.com- Aroma musim semi. Si pelayan bar. Segelas kopi, payudara besar, dan mata seperti binatang yang cemberut dalam dekorasi kanvas.Aku merias wajah terluka dari pensil, tembakau, dan buku. Pada ujung batang rokok yang ditumbuhi ciuman, merayap diantara kelopak bunga, menyerap darah dari dasar air mata.
Aku mulai menulis puisiku dari hentakan lampu rumah bordil. Berdesir ketika Nona. Georgina Bayer seorang waria penari telanjang Selandia Baru, yang pernah menjabat Wali Kota Carterton, tiba-tiba berjongkok di tepi jurang, nyaris bunuh diri sebab trauma disodomi oleh empat pemuda yang tidak di kenal.
Bulan Juni. Di jalan setapak yang sempit, kita mengulang tanya. Kemana tulang-belulang para pelacur kekaisaran yang telah lama hilang? Mengapa mereka rela menjadi selir demi jubah dalam pandangan babu? Hari itu mendung dan, alismu menyelinap melalui kabut di bibirku yang perlahan mengkerut diantara koin-koin yang terkubur tanpa berkarat.
Itu dulu. Mimpi sama kosongnya dengan kenyataan. Saat semua tangan mulai terampil menggambar mahkota perawan tanpa penghapus, aku masih sibuk mengemas keheningan makna dan membungkusnya.
Mungkin di sana, saat bulan purnama pertama menyelinap di atas bangunan ibu kota, ada karpet tebal untuk rindu saat melangkah ke ruang untuk cinta, dan menyaksikan mosaik Theodora menjelma permaisuri hanya dengan ujung kuas di cermin berbintik, mampu menggemparkan konstantinopel.
Atau Aspasia yang berpose mengenakan bra dan celana dalam di bawa sinar matahari menjadi malaikat bayangan di hidung para pria belang Athena.
Atau karakter opera yang tragis dari para budak-budak pelayan yang malang, seperti poster tanaman merambat di bingkai jendela bangunan perlemen yang membosankan.
Oleh:AssusianisMe