OPINI, Lorongka.com- Malam itu, sebelum jarum jam bertindak tegas menunjuk pukul dua belas malam. Aku bertindak aneh seperti biasanya, membuka laptop dan menulis, minum kopi kemudian sesekali merokok.
Sedikit tambahan, yakni aku memberanikan diri mengabarimu, untuk menjalin silaturahmi dengan niat baik dalam jangka panjang.
Memulai dari komunikasi, karena jadwal begitu padat, tak pernah aku menetap lama di suatu tempat, sehingga aku masih sebatas ingin mengenal.
Walau di lubuk hati ini juga sesekali berharap akan labuh di pelukan seseorang yang rela menerima apa adanya.
Mula-mula aku dilahirkan dari keluarga yang kurang beruntung. Tak punya segunung emas untuk membeli rumah, tak juga punya tabungan cukup untuk menawar harga cinta seorang perempuan.
Dari situlah aku memulai petualangan, mencari jati diri. Menjelajahi hampir semua tempat agar dapat sandaran untuk tetap hidup dan terhormat.
Sebagai pengarang yang bisa memainkan kata, aku selalu mencari makna baru untuk menghangatkan percakapan. Sebab itulah, mudah bagiku untuk menemukan perempuan yang kuinginkan.
Bahkan untuk mencium aroma tubuh perempuan yang berbeda, bukanlah hal sulit bagiku yang tahu cara memanjakan hati seseorang.
Tapi sebagai seorang lelaki, tentu punya nurani dan ingin hidup normal seperti orang lainnya. Menikah dengan satu perempuan yang dicintai, punya rumah, punya anak dan hidup cukup.
Sehingga aku memutuskan untuk berhenti jadi bajingan hanya agar takdir berkata jujur dan nasib tidak sia-sia.
Aku juga punya cinta yang kuat, cinta yang tak akan pupus hanya oleh waktu. Dan aku sejak awal berniat hanya akan memberikan semua itu pada perempuan yang jadi istriku.
Waktu terus menjelma tua, hari-hari berganti. Hingga akhirnya aku putuskan untuk berhenti menjelajah, dan berniat fokus pada satu perempuan dalam satu ikatan suci yang sah, pernikahan.
Sebisanya aku meyakinkan keluargaku, bahwa sudah saatnya aku serius. Tibalah waktunya perempuan yang kukagumi harus kunikahi.
Alhasil keluargaku setuju, dan langsung melamar perempuan yang semula dalam doa kusebut, N.
Sialnya, aku tinggal di daerah yang memegang kuat adat budaya lokal, di mana menikah menjadi keharusan, walau melamar lalu ditolak masih dianggap sesuatu yang sakral dan menyangkut kehormatan. Bagi keluargaku, lamaran ditolak adalah harga mati.
Sehingga tak serta-merta aku melamar perempuan yang aku sukai hanya karena cinta semata, tetapi butuh kepastian seblum akhirnya datang meminang.
Hal itu dilakukan keluargaku, setelah N memintaku datang melamar, maka keluargaku pun datang.
Tetapi begitulah hidup, kerap harapan berakhir tragis, beberapa impian berhenti jadi sesak di dada, atau berakhir sebagai tangis di mata.
Walau tak sepenuhnya ditolak, tetapi keluarga N belum memberikan respon baik. Mungkin karena aku bukan lelaki ideal di mata masyrakat setempat di daerahku.
Memang N suka dan menerimaku apa adanya, namun di tempatku, pernikahan bukan hanya saling cinta lelaki dengan perempuan, tapi butuh dukungan keluarga juga.
Bahkan beberapa kejadian, tak ada kaitan cinta antara kedua mempelai, tapi kelurganya sepakat, maka terjadilah resepsi pernikahan.
Menjadi soal bagiku adalah karena ini pertama kalinya aku berniat melamar, dan aku berjanji untuk hanya sekali melamar, jika ditolak maka sebisa mungkin aku akan kembali tersesat ke dunia gila yang sunyi dan melupakan pernikahan.
Dulu aku pernah berkata pada orang tuaku, aku tak ingin menikah lantaran menikah bukan satu-satunya jalan bahagia dalam kehidupan, tapi orang tuaku tak terima.
Sekarang aku jadi terima keinginan orang tua untuk menikahkanku, selagi dengan N, karena aku merasa ini adalah momentum untuk kembali pada dunia yang sesungguhnya, menikah dan berkumpul dengan keluarga.
Namun, lagi-lagi, entah nasib atau takdir. Sampai saat ini aku masih merisaukan kepastian orang tua N. Entah menerima atau menolak, tapi rasa-rasanya mereka enggan menerimaku.
N adalah perempuan baik, dan menjadi orang pertama yang aku lamar. Ia bahkan bersedih karena belum dapat restu sepenuhnya. Kesedihan itulah yang membuatku kembali merasa tak berguna.
Kadang aku berpikir hidupku dicipta hanya untuk jadi tempat luka bermukim, aku selalu merasa dipermainkan oleh takdir, ditertawai oleh nasib.
Saking sedihnya diriku, sehingga berjanji pada N bahwa aku dengan dirinya pasti akan menikah.
Andai takdir tidak menjodohkan, dan untuk mengubahnya adalah dengan kematian, maka aku rela tukar nyawaku agar bisa menikah walau sehari saja lalu aku meninggal.
Tapi aku tak berhenti di sini, sebagai lelaki, aku akan terus mengupayakan agar aku dengan N bisa menikah. Lagian ini bukan hanya tentang pernikahan, tetapi juga menyangkut nasib dan kehormatan.
Bila pernikahan ini batal, maka aku akan kembali menerima takdirku untuk berpetualang dan tersesat ke luar. Aku akan pergi pada dunia yang tak pernah dikenali oleh diapapun.
Dan teruntuk N, jika aku tidak bisa menikahimu, biarkanlah aku mencintaimu sampai kata cinta tak lagi digunakan manusia, sampai rasa dalam hati manusia sudah dicabut oleh Tuhan.
Oleh: Pemuja Kopi