Jelvina Rizka (Aktivis Dakwah Muslimah)
LorongKa.com - Di era kapitalisme modern, kita menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun sayangnya, pertumbuhan ini tidak selalu diikuti dengan distribusi yang adil. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah generasi muda. Potensi besar yang dimiliki oleh generasi ini sering kali terjebak oleh kebijakan ekonomi negara yang lebih menguntungkan segelintir elite daripada masyarakat luas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan banyak dari pengangguran berusia muda tersebut tercatat baru lulus SMA sederat dan perguruan tinggi. Menurut analisa Ida, faktor utamanya banyaknya angka pengangguran pada penduduk muda berusia 15-24 tahun ini adalah karena kurang singkronnya pendidikan dan permintaan tenaga kerja. "Ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua karena ternyata kalau kita dalami data kita lulusan SMA/SMK, terutama SMK itu menyumbangkan pengangguran kita. Kenapa terjadi begini? Karena di antaranya adalah tidak terjadi link and match," ujar politikus PKB ini. Faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pengangguran di Gen Z adalah turunnya lapangan pekerjaan di sektor formal. "Ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua karena ternyata kalau kita dalami data kita lulusan SMA/SMK, terutama SMK itu menyumbangkan pengangguran kita. Kenapa terjadi begini? Karena di antaranya adalah tidak terjadi link and match," ujar politikus PKB ini (KOMPAS.com, 24-05-2024).
Masa muda yang dianalogikan masa paling produktif dan optimal dalam kehidupan, mulai dari kekuatan fisik, taraf berpikir, serta kreativitas merupakan keistimewaan yang dicirikan pada generasi muda. Khususnya Gen-Z yang saat ini menghadapi realitas pahit di tengah dinamika ekonomi kapitalis yang kompleks. Ketika mulai memasuki ranah kerja, banyak yang mendapati kenyataan bahwa peluang yang tersedia jauh dari yang diaspirasikan. Pengangguran mewabah, sementara kebijakan ekonomi yang diterapkan negara seakan-akan tidak sanggup mengimbangi kebutuhan dan potensi mereka. Bukannya menjadi motor penggerak kemajuan, generasi ini malah terjebak dalam lingkaran kebijakan yang tidak efektif dan kerap bersifat kontraproduktif. Di tengah iming-iming pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan, realitasnya masih menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan yang dijalankan dan hasil yang dirasakan oleh kalangan muda.
Potensi generasi yang terjebak oleh jeratan kebijakan negara, bagai cerminan paradoks antara kemampuan dan aspirasi pemuda dengan hambatan struktural yang dihadirkan oleh kebijakan ekonomi kapitalisme. Meski generasi muda memiliki potensi besar untuk berinovasi dan memajukan ekonomi, kebijakan dalam sistem kapitalisme yang kurang adaptif dan rigiditas pasar tenaga kerja seringkali menghalangi mereka untuk berkembang. Hal ini tentunya akan berakibat fatal, misalnya regulasi yang tidak fleksibel dalam hal tenaga kerja dan pajak, serta kurangnya dukungan untuk sektor-sektor baru seperti ekonomi digital dan kreatif, membuat pemuda sulit menemukan peluang yang sesuai dengan keterampilan mereka. Selain itu, kebijakan yang lebih fokus pada industri tradisional mengabaikan kebutuhan untuk berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan baru yang relevan dengan pasar kerja masa depan, ditambah negara yang dengan mudahnya menyambut dan mengizinkan para investor asing serta pekerjanya mengelola SDA tentunya kian memperumit kejelasan nasib para generasi muda negara sendiri. Banyak pemuda yang berpendidikan tinggi namun masih sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka. Kurangnya dukungan terhadap startup dan industri kreatif juga membuat potensi kewirausahaan generasi muda tidak dapat berkembang secara optimal. Ketidakseimbangan ini tentunya menciptakan situasi di mana potensi generasi muda tidak bisa dioptimalkan, sehingga mereka terjebak dalam lingkaran pengangguran dan pekerjaan informal.
Untuk keluar dari jebakan ini, diperlukan reformasi kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan visioner, yang dapat membuka jalan bagi pemuda untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negara. Sudah saatnya kita mengevaluasi kembali kebijakan ekonomi yang diterapkan. Generasi muda adalah aset berharga bagi masa depan bangsa, dan potensi mereka tidak boleh terjebak oleh kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan.
Mengubah Tantangan Menjadi Peluang Dengan Islam
Islam sebagai agama yang senantiasa mengedepankan keadilan dan distribusi kekayaan yang merata. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Ayat ini dengan sangat jelas menegaskan bahwa kekayaan harus didistribusikan secara adil, sehingga setiap individu, termasuk generasi muda, tentunya akan memperoleh peluang yang sama dalam mengembangkan juga memanfaatkan potensi yang mereka miliki.
Kapitalisme, dengan fokusnya pada keuntungan cenderung menciptakan kesenjangan ekonomi. Kebijakan ekonomi yang diambil oleh negara sering kali berorientasi pada peningkatan daya saing global dan profitabilitas korporasi besar. Akibatnya, perhatian terhadap pemberdayaan generasi muda terabaikan. Sehingga bukan rahasia lagi bahwa pendidikan, pelatihan, dan kesempatan kerja yang memadai hanya sebagai wacana semata. Generasi muda pun terperangkap dalam lingkaran pengangguran dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensi mereka.
Dalam pandangan Islam, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil tidak hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Negara harus berperan aktif dalam menyediakan akses pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan, dan peluang kerja yang layak bagi generasi muda. Dengan demikian, potensi yang dimiliki oleh generasi ini dapat dikembangkan secara maksimal, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kemaslahatan umat.
Selain itu, Islam juga mengajarkan prinsip-prinsip seperti zakat, infaq, dan sedekah sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Dengan penerapan prinsip-prinsip ini, diharapkan kesenjangan ekonomi dapat dikurangi, dan setiap individu, termasuk generasi muda, dapat merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi.
Penulis: Jelvina Rizka.