Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Ilusi Kesejahteraan Perempuan Dibalik UU KIA

Senin, 15 Juli 2024 | 11:08 WIB Last Updated 2024-07-15T03:08:54Z

Etik Rositasari, Aktivis Dakwah dan Mahasiswa Magister UGM

LorongKa.com - 
Baru baru ini, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Kehidupan (RUU KIA) yang sempat menjadi buah bibir. Pengesahan aturan ini dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI yang diselenggarakan Selasa, 4/6/2024 (Kompas.com 4/6/2024). 


Banyak pihak menyambut positif disahkannya UU KIA ini. Indah Anggoro Putri selaku Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker dalam statement resmi nya pada Jumat (7/6/2024) meyakini bahwa UU KIA akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh, khususnya perempuan agar bisa turut berkontribusi menyongsong Indonesia Emas. 


Respon serupa juga dilontarkan oleh Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita. Ia menyatakan bahwa PKS mengapresiasi berbagai aspek UU KIA, termasuk pengakomodasian usulan dan aspirasi masyarakat yang kaya, penyertaan asas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Maha Esa. 


Di sisi lain, muncul kekhawatiran UU KIA akan menimbulkan diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja, mengingat terdapat kemungkinan perusahaan akan lebih memprioritaskan laki laki dibandingkan perempuan karena adanya aturan terkait cuti melahirkan. Namun demikian, hal ini ditepis oleh Rieke Diah Pitaloka selaku Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI. Ia menilai diskriminasi terjadi jika perusahaan memecat perempuan yang sedang dalam cuti melahirkan.


Adanya UU KIA ini secara sepintas memang layaknya angin segar, khususnya bagi perempuan yang berkarir. Terang saja, dengan adanya aturan penambahan masa cuti melahirkan yang semula tiga bulan menjadi enam bulan, perempuan akan mempunyai waktu lebih lama untuk beristirahat. 


Apatahlagi ditambah dengan adanya aturan cuti tambahan bagi ayah selama 2 hari yang dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya sesuai kesepakatan pemberi kerja. Tentu, ini terkesan menjanjikan. 


Namun, saat ditelisik lebih jauh, alih alih benar benar mewujudkan kesejahteraan bagi perempuan, UU ini justru sarat nuansa peraihan target ekonomi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Irham Ali Saifuddin selaku Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi yang menyatakan bahwa hadirnya UU KIA akan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja sehingga akan berkontribusi terhadap produktivitas nasional. 


Memang, sudah jamak diketahui bahwa perempuan dalam paradigma kapitalisme seperti sekarang diberikan peluang seluas mungkin untuk dapat memasuki dunia kerja dan berkiprah di berbagai sektor industri. Dengan iming iming peningkatan standar kehidupan baik untuk diri sendiri maupun keluarga, mereka ditarik keluar dari rumah dan aktif menjadi pengumpul cuan. 


Tak jarang, banyak dari perempuan tersebut bahkan diberikan porsi kerja berlebih, sehingga akibat kesibukannya, rumah pun tak ubahnya seperti tempat singgah semata. Perempuan perempuan semacam ini sering dijadikan standar sebagai perempuan produktif, merujuk pada para perempuan yang aktif berkontribusi, mandiri dan mampu mendapatkan penghasilan sendiri.  


Istilah produktif tersebut jika ditilik memang nyatanya bukan dilihat dari seberapa besar peran mereka dalam bidang yang mereka tekuni. Alih alih demikian, produktivitas justru dimaknai dari seberapa besar kontribusi ekonomi yang bisa mereka berikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat hingga skala negara. Semakin banyak cuan yang dihasilkan, maka label “perempuan produktif” pun semakin lekat tersemat. Begitu pula sebaliknya.     


Merujuk pada fenomena ini,  tampak jelas bahwa kapitalisme sejatinya telah melakukan dan membenarkan tindakan eksploitatif terhadap perempuan. Bagaimana tidak, perempuan yang seharusnya fokus menjalankan fitrah sebagai ummu wa robbatul bayt, secara sengaja dialihkan perannya menjadi sapi perah bagi para cukong dan korporat. 


Padahal, tak jarang, dalam dunia kerja, mereka juga mendapat perlakuan diskriminatif, seperti menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Selain itu, mereka juga sering menghadapi kondisi kerja yang tidak adil, misalnya ditempatkan di posisi yang kurang menguntungkan dan kurang berpengaruh dibandingkan laki-laki. Namun, demi standar produktif dan materi yang seakan menjanjikan, hal tersebut menjadi realitas yang tak lagi diindahkan.


Alhasil, alih alih menjadi semakin sejahtera, standar berdaya dan produktif versi kapitalisme saat ini justru membuat perempuan sering kali harus menghadapi beban ganda, yaitu tanggung jawab untuk bekerja di luar rumah dan mengurus pekerjaan rumah tangga serta pengasuhan anak. Hal ini dapat menimbulkan tekanan dan kelelahan luar biasa bagi perempuan. 


Dampak lebih lanjut dari fenomena tersebut, keluarga pun tentu akan terdampak. Ibu yang idealnya perlu mendampingi anak dan memberikan pengasuhan terbaiknya hingga anak mumayyiz (memiliki kesadaran penuh) misalnya. Akibat adanya pengarusan opini pemberdayaan perempuan, akhirnya mereka hanya dapat optimal mengasuh anak selama masa cuti 6 bulan sebagaimana diatur dalam UU KIA, itupun jika ada indikasi medis khusus.


Jika tak ada indikasi medis apapun, nyatanya cuti melahirkan tetap hanya diberikan selama 3 bulan, tak lebih. Dengan waktu cuti sesingkat ini, bagaimana bisa ibu memberikan pengasuhan optimal kepada buah hati? Apakah masih mungkin kesejahteraan perempuan terwujud jika fitrahnya menjadi seorang ibu pun tak dapat terfasilitasi dengan baik?


Begitulah kapitalisme menghasilkan berbagai dampak buruk yang mempengaruhi perempuan, termasuk eksploitasi ekonomi, kondisi kerja yang buruk, beban ganda, diskriminasi dan bias gender, ketidaksetaraan akses ke peluang, tekanan konsumerisme, dan minimnya representasi dalam kepemimpinan. 


Lain halnya dengan Islam, sistem ini memberikan banyak hak dan perlindungan untuk kesejahteraan ibu dan wanita, mencakup aspek-aspek pendidikan, kepemilikan harta, perawatan, partisipasi sosial, dan keadilan. Nilai-nilai ini bertujuan untuk memastikan bahwa wanita dihormati, dilindungi, dan diberdayakan dalam semua aspek kehidupan. 


Interpretasi dan penerapan ajaran ini bisa jadi bervariasi di berbagai budaya dan masyarakat, tetapi prinsip-prinsip dasarnya menekankan penghormatan, kesejahteraan, dan kesetaraan bagi semua wanita.


Dalam aspek ekonomi misalnya, sistem Islam mewajibkan negara memberikan jaminan penghidupan yang layak termasuk pekerjaan bagi para laki laki. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat fokus melaksanakan tanggung jawab utamanya dalam urusan domestik. 


Adapun terkait mekanisme pendanaan guna merealisasikan hal tersebut, maka negara mempunyai berbagai jenis pos pemasukan. Pos pos ini berasal dari kharaj, jizyah, pengelolaan sumber daya alam, dan lain sebagainya. 


Sementara itu, jika urusan domestik telah terlaksana dengan baik, perempuan pun dapat turut berkontribusi menghasilkan karya karya terbaik untuk umat. Bukan demi peraihan nilai materiil, namun suasana keimanan mengubah paradigma materialistik yang khas ada di sistem kapitalisme menjadi paradigma kebermanfaatan sebesar besarnya demi meraih keridhaan Allah. 


Inilah gambaran perwujudan kehidupan ideal bagi umat. Dengan demikian, bisa dikatakan, hanya Islamlah yang tulus memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak demi berjalannya fungsi strategis dan politis peran keibuan dan membangun profil generasi cemerlang. Wallahu a'lam bi showab. 


Penulis: Etik Rositasari.

×
Berita Terbaru Update