Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Menguak Kesejahteraan Anak yang Terserak, Refleksi Peringatan Hari Anak

Senin, 29 Juli 2024 | 09:52 WIB Last Updated 2024-07-29T01:52:41Z

Etik Rositasari/Aktivis Dakwah dan Mahasiswa Pascasarjana

LorongKa.com - 
Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada tanggal 23 Juli lalu berlangsung meriah. Tak tanggung-tanggung, acara ini melibatkan 7.000 anak Indonesia (antaranews.com 20/7). Melansir dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), HAN ke-40 tahun ini mengusung tema yang sama dengan tahun lalu yaitu "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" (nasional.kompas.com 18/7).


Adapun terkait lokasi pelaksanaan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengungkapkan, pemerintah memilih Papua sebagai lokasi puncak perayaan Hari Anak Nasional (HAN) 2024 pada Selasa (23/7/2024) dengan harapan agar kemeriahan perayaan HAN dapat dirasakan oleh anak-anak di daerah terpencil dan terluar.


Gemerlapnya peringatan HAN nyatanya tak membuat kondisi anak Indonesia kian membaik. Bahkan, meski setiap tahun HAN diperingati, problematika yang dialami anak Indonesia justru semakin kompleks.


Menurut laporan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto, dari 4 juta orang yang terdeteksi melakukan judi online, sekitar 2% atau 80 ribu diantaranya merupakan anak berusia di bawah 10 tahun.


Sementara itu, pelaku judol berusia 10-20 tahun sebanyak 11% (440 ribu pelaku), usia 21-30 tahun 13% (520 ribu pelaku), usia 31-50 tahun 40% (1,64 juta pelaku), dan usia di atas 50 tahun 34% (1,35 juta pelaku).


Tak hanya judi online, anak-anak juga banyak terlibat tindak kekerasan baik menjadi pelaku maupun korban. Data yang dilansir Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dari Januari hingga 23 Juli 2024 mengungkapkan fakta mengejutkan dimana 1.879 tindak kekerasan pada anak justru dilakukan oleh teman sebayanya sendiri.


Seakan belum cukup, problematika terkait stunting juga masih menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat. Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5 persen. Angka tersebut hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6 persen.


Deretan fakta tersebut semakin diperparah dengan kondisi saat ini yang sarat dengan nuansa sekulerisme. Absennya peran agama akibat kentalnya atmosfir sekulerisme tersebut membentuk kepribadian anak menjadi buruk. Tak heran, anak kerap menjadi pelaku bullying, kekerasan, pelecehan, terlibat dalam narkoba, miras, gaul bebas hingga judi online.


Pemerintah sebenernya tak begitu saja tinggal diam. Banyak program dicanangkan untuk mengatasi permasalahan yang dialami anak Indonesia, seperti Program Nutrisi Anak, perintisan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), konseling pranikah kepada calon pengantin, edukasi kepada ibu dan calon ibu dan masih banyak lagi.


Sayangnya, alih-alih terselesaikan, anak justru semakin hari semakin jauh dari pribadi ideal yang diharapkan. Kesejahteraan semakin merosot, keamanan semakin sulit didapat, apatahlagi berbicara terkait moral dan ketakwaan. Hal ini membuktikan bahwa upaya pemerintah telah gagal menuntaskan problematika yang dialami para anak.


Kegagalan tersebut disebabkan karena solusi yang ditawarkan pemerintah realitanya tak menyentuh akar permasalahan. Layaknya memotong rumput di permukaan, program yang dibuat hanya bersifat menyelesaikan masalah secara temporer, namun tak menjamin persoalan benar-benar tuntas. Sehingga, bisa dikatakan, peringatan HAN setaip tahun tak ubahnya seperti seremonial semata tanpa ada perubahan yang berarti.


Sejatinya, akar persoalan yang dialami oleh anak tak lain karena bercokolnya sistem kapitalisme liberal. Sistem yang mengandalkan sekulerisme sebagai motor penggeraknya ini, membuat agama sengaja dipinggirkan dari kehidupan. Sementara itu, tanpa ada agama sebagai kompas moral, masyarakat akan cenderung menggunakan hawa nafsu sebagai panduan dalam bertingkah laku, yang mana hal ini, tentu, sangat jauh dari ketakwaan.


Imbas lebih jauhnya, berbagai sektor kehidupan manusia perlahan akan rusak. Dimulai dari sektor terdasar yaitu keluarga.


Sistem sekulerisme telah menyebabkan tercerabutnya peran dan fungsi keluarga sebagai madrasah ula untuk anak.  Bagaimana tidak, sistem ini membuat banyak ibu melalaikan fitrahnya sebagai ummu wa rabbatul bayt (ibu dan pengurus rumah tangga) yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pendidikan.


Karena iming iming materi dan eksistensi diri, para ibu ini justru memilih banyak berperan di luar rumah untuk bekerja. Imbas dari hal tersebut, anak pun menjadi tak terurus. Banyak dari mereka yang akhirnya terlibat dalam kasus kekerasan, baik menjadi korban maupun pelaku.


Tak berhenti sampai disitu, di luar rumah, lingkungan pendidikan pun nyatanya gagal membentuk kepribadian anak. Alih alih menjadi intelektual sejati yang berkarakter mulia, kurikulum pendidikan yang bercorak sekuleristik justru menyulap anak menjadi generasi yang berfikir dan bertingkah laku bebas.


Sementara itu, jika kita amati, akses pendidikan saat ini juga tak merata. Banyak dari anak anak Indonesia yang putus sekolah hingga bahkan sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan karena masalah ekonomi.


Hal ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi negeri ini pada faktanya tak berhasil menjamin pendidikan berkualitas terjangkau bagi semua kalangan. Dengan realita demikian, mungkinkah kesejahteraan masyarakat dapat terwujud dalam kungkungan sistem sekuler kapitalis?


Realita tersebut berbeda jauh dengan kondisi saat aturan Islam diterapkan. Islam memandang bahwa anak merupakan amanah bagi setiap orangtua serta aset peradaban yang sangat penting dan tak ternilai harganya bagi masyarakat dan negara. Mafhum semacam inilah yang membuat setiap anak harus dijamin pemenuhan kebutuhannya dalam segala aspek.


Dalam lingkup terdekat, keluarga akan menjamin tersedianya pendidikan dasar dan pengasuhan yang berkualitas bagi anak. Alih-alih tertarik untuk mementingkan eksistensi, orangtua khususnya para ibu akan disibukkan untuk menyiapkan para anak menjadi generasi unggulan yang dilingkupi atmosfir ketakwaan, sebagaimana Allah berfirman :


“Hai orang-orang yang beriman, pelihara lah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At- Tahrim : 66)


Sementara itu, negara akan mendukung hal tersebut dengan memastikan peran orangtua, baik ayah maupun ibu berjalan sesuai fitrah. Oleh karena itu, negara menjamin penyediaan lapangan pekerjaan bagi setiap ayah sehingga ibu dapat fokus menjalani tanggung jawab utamanya untuk mendidik anak. Dengan demikian, peran dan fungsi keluarga dalam pendidikan anak pun akan berjalan optimal.


Tak hanya itu, negara yang disokong dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang kuat, akan mampu menjamin dan memfasilitasi tersedianya seluruh kebutuhan dasar anak yang mencakup layanan pendidikan dan kesehatan gratis serta berkualitas, keamanan, dan lain sebagainya.


Hal tersebut didukung dengan penerapan sistem pendidikan Islam yang kurikulumnya dirancang dari akidah, sehingga output generasi generasi yang dihasilkan jauh dari perilaku maksiat dan pemahaman pemahaman rusak seperti sekulerisme, liberalisme dan lain sebagainya. Sebaliknya, anak akan terbentuk menjadi generasi yang kokoh dan berkarakter mulia.


Begitulah Islam menjamin tuntasnya probelamatika yang dialami para anak. Oleh sebab itu, sudah saatnya Islam kembali diterapkan di muka bumi agar kesejahteraan umat manusia khususnya anak anak dapat terwujud. Wallahu a’lam bi showab.


Penulis: Etik Rositasari
×
Berita Terbaru Update