Ryang Adisty Farahsita, M.A.
LorongKa.com - Pada tahun 2020 silam BP Tapera menyampaikan bahwa program Tapera terinspirasi dari kesuksesan program yang sama dari negara lain.
Program sejenis Tapera pertama kali diterapkan oleh Inggris kemudian diadaptasi negara lain misalkan Jerman (Bauspar sejak tahun 1921), China (Housing Provident Fund sejak tahun 1991), Prancis (Compte D’epargne Logement dan Plan D’epargne Logement sejak tahun1965).
Namun ternyata, hingga tahun 2024 ini negara-negara tersebut masih saja memiliki problem dengan tunawisma. Menurut worldpopulationreview.com yang mendata jumlah tunawisma di dunia, Inggris memiliki 380.000 tunawisma, Prancis 330.000 tunawisma, Jerman 262.600 tunawisma, dan Cina masih memiliki 2.579.000 tunawisma.
Faktanya, ternyata program sejenis Tapera tidak menyelesaikan problem perumahan. Hal ini karena memang program ini tidak berangkat dari akar masalah yang menyebabkan sulitnya kepemilikan lahan dan hunian oleh masyarakat.
Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan justru program ini adalah wujud lepas tangannya pemerintah terhadap masalah kepemilikan perumahan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, negara justru hanya berperan sebagai regulator saja.
Hal ini memang sudah menjadi ciri khas sistem kapitalisme sekuler. Dalam kapitalisme kewenangan pengurusan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat diserahkan kepada operator, badan usaha, atau korporasi. Negara justru ditempatkan sebagai regulator yang memfasilitasi kepentingan operator.
Padahal jelas operator, badan usaha, ataupun korporasi tentu didirikan bukan untuk mensejahterakan rakyat melainkan justru fokusnya mengejar profit demi kepentingannya.
BP Tapera maupun Bank Penampung, serta Bank Kustodian adalah lembaga yang termasuk operator. Hanya melalui operator inilah peserta Tapera yang sesuai kriteria boleh mendapatkan pinjaman untuk membangun rumahnya. Namun jelas tentu prosedur pencairannya tidaklah mudah.
Hal ini terbukti dari masalah sengkarut Taperum PNS (saat ini dikelola oleh BP Tapera) yang belum usai mulai orde baru hingga hari ini. Menurut laporan BPK, ada 124.960 pensiunan belum menerima pengembalian sebesar Rp 567,45 miliar dan peserta pensiun ganda sebanyak 40.266 orang sebesar Rp 130,25 miliar.
Ironisnya, kendalanya terletak pada masalah kemutakhiran data. Sungguh merana, kewajiban seolah harus ditunaikan apapun kondisinya sedangkan justru hak tak kunjung diberikan pada waktunya.
Bukti lain bahwa Tapera ini adalah salah satu perwujudan lepas tangannya negara terhadap hajat hidup masyarakat adalah pernyataan dari Heru Pudyo Nugroho, Komisioner BP Tapera setelah muncul banyaknya kritik terhadap Tapera. Ia menyatakan bahwa simpanan bulanan kepesertaan Tapera bukan digunakan untuk mengangsur kredit pemilikan rumah (KPR), tetapi untuk berkontribusi terhadap pemberian bantuan subsidi agar suku bunga flat berada di angka 5 persen.
Padahal, masalah terkait suku bunga seharusnya bukan tanggung jawab rakyat. Tidak sepantasnya rakyat dipaksa berkontribusi dalam subsidi untuk menciptakan suku bunga flat. Apalagi dalam kondisi UMR rendah di beberapa wilayah Indonesia. Untuk hidup sehari-hari saja mungkin ada yang memperbanyak puasa hingga nekat terlibat pinjaman online dan judi online. Jika masih dipotong penghasilan nya demi menciptakan suku bunga flat, sungguh kejamnya kebijakan in.
Penulis: Ryang Adisty Farahsita, M.A.