Ryang Adisty Farahsita, M.A. |
LorongKa.com - Sungguh mengerikan angka kasus kekerasan anak di Indonesia memiliki trend meningkat tiap tahunnya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) data kekerasan anak memiliki trend meningkat per tahunnya. Pada tahun 2019 ada 11.057 kasus, tahun 2020 ada 11.278 kasus, tahun 2021 ada 14.517 kasus, tahun 2022 ada 21.241 kasus, tahun 2023 ada 24.158 kasus, dan pada tahun 2024 ini hingga bulan Juli menurut Simfoni-PPA terdapat 9695 kasus kekerasan terhadap anak (dibawah usia 18 tahun).
Mirisnya, menurut data Simfoni PPA pelakunya adalah orang terdekat anak. Pelaku teman atau pacar sebanyak 809 pelaku, 702 orang tua, keluarga atau saudara 285 orang, hingga guru 182 pelaku. Bahkan, berdasarkan tempat kejadian, kekerasan terhadap anak yang terjadi di rumah sebanyak 2.132 kasus, fasilitas umum 484 kasus dan sekolah 463 kasus. Sungguh mengerikan, rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak dan sekolah yang seharusnya menjadi tempat menuntut adab serta ilmu justru menjadi tempat yang mengancam keamanan anak.
Padahal, tidak sedikit upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mencegah dan mengantisipasinya. Kegagalan upaya yang ditawarkan oleh pemerintah tidak lain karena memang solusinya belum menyentuh akar masalah. Akar masalah dari kekerasan anak perlu diurai terlebih dahulu sebelum menggulirkan berbagai program sebagai solusi.
Faktor utama yang menyebabkan kekerasan anak tidak kunjung selesai adalah karena lemahnya ketaqwaan pada individu sehingga tidak takut melakukan kejahatan dan kemaksiatan, masyarakat yang cenderung abai terhadap sekitarnya, dan lemahnya aturan negara dalam mengontrol hal-hal yang dapat memicu kedua masalah tersebut.
Ketiga hal tadi tidak lain disebabkan oleh sistem sekuler liberal yang mau tidak mau harus diakui telah menjadi bagian dari sistem yang diterapkan saat ini. Agama terus menerus berupaya dijauhkan dari masyarakat dengan berbagai macam upaya seperti program deradikalisasi, moderasi beragama, hingga upaya monsterisasi terhadap ajaran Islam seperti jihad dan khilafah. Akibatnya, ketaqwaan individu semakin lemah yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kebutuhan terikat pada syariat.
Disisi lain, kebebasan semakin diagungkan sehingga perilaku yang melanggar norma dan agama makin berani dilakukan. Bahkan akhirnya justru masyarakat menjadi semakin segan menegur dan cenderung abai karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Prinsip indivialisme yang mementingkan urusan diri sendiri juga semakin melekat di tubuh masyarakat.
Negara yang memisahkan aturan agama dari kehidupan juga akhirnya mengabaikan aturan kehidupan dari Sang Khaliq yang berakibat timbulnya kerusakan di berbagai bidang kehidupan. Kehidupan ekonomi serba sulit menjadi pemicu keadaan mental yang rentan stress dan emosional. Tak jarang orang tua melampiaskan emosinya ini pada anaknya atau bahkan guru kepada muridnya.
Sistem pendidikan yang juga lebih menekankan pada aspek akademis daripada adab dan akhlaq juga turut menyumbang sengkarut dalam kasus kekerasan anak ini.
Media juga seolah tidak ada saringan. Konten kekerasan sangat mudah diakses. Tidak hanya mudah diakses, bahkan konten kekerasan juga turut dikomersialkan dalam sistem rusak saat ini. Pengaksesnya mulai orang dewasa hingga anak-anak. Dalam platform game online, ada game-game populer yang jelas mempromosikan kekerasan ternyata justru sangat disukai anak-anak. Game populer tersebut misalkan Mobile Legend, Minecraft, hingga Free Fire. Bahkan di salah satu game berjudul Call of Duty ada misi menjalankan pembunuhan.
Konten kekerasan yang disajikan oleh WWE (World Wrestling Entertainment, Inc.) dan UFC (Ultimate Fighting Championship ) juga sangat mudah diakses siapapun termasuk oleh anak-anak. Bahkan ajang promosi kekerasan tersebut memang sengaja dipasarkan karena keuntungannya tidak main-main. April 2023 lalu WWE dan UFC yang hendak merger nilai perusahaannya bahkan mencapai 313 T.
Belum lagi sistem peradilan dan sanksi yang cenderung lemah. Akhirnya sanksi yang dijatuhkan kurang menimbulkan rasa takut dan jera.
Berdasarkan hal-hal diatas, jelas masalah ini adalah masalah sistemik. Masalah sistemik tidak akan selesai dengan solusi yang bersifat parsial. Masalah sistemik membutuhkan solusi sistemik. Artinya, tidak cukup hanya dengan menangani akibat. Dibutuhkan sistem yang benar/shahih agar masalah kekerasan anak dapat diberantas mulai cabang hingga akarnya. Wallahua'lam bi ashawab.
Penulis: Ryang Adisty Farahsita, M.A.