Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Remisi Napi Bukti Lemahnya Sistem Sanksi

Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:22 WIB Last Updated 2024-08-29T02:22:56Z

Vinda Puri Orcianda

LorongKa.com - 
"Merdeka", menjadi pekikan yang menggema di setiap tanggal 17 Agustus di Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri merayakan kemerdekaan negaranya. Bahkan tidak kalah merdeka pula para tahanan lapas dengan berbagai macam kejahatan pun menerima kemerdekaan mereka.


Ada yang merdeka karena dengan mendapat remisi kemerdekaan, mereka bisa berkurang masa tahanannya, atau bahkan karena pengurangan masa tahanan, dapat membuat tahanan tersebut lepas dari masa tahanannya.


Bahkan di Indonesia sendiri, para koruptornya pun mendapatkan remisi masa tahanan. Terkesan sangat enak menjadi penjahat koruptor di Indonesia ini, berbeda dengan negara Tiongkok misalkan. Dimana para pejabat yang terbukti merugikan uang negara senilai 1000 yuan atau setara dengan Rp.215 juta maka akan dijatuhi hukuman mati.


Celakanya Indonesia bukanlah Tiongkok, bukan pula masyarakatnya memiliki rasa malu dan dedikasi tinggi seperti Jepang, dimana pejabat yang ketahuan merugikan negara, lebih memilih melakukan bunuh diri karena rasa malu yang amat tinggi.


Kita di Indonesia dimana para narapidana baik kasus biasa ataupun kasus-kasus besar, bahkan kasus korupsi, dan narkoba sekalipun, tidak merasa lagi efek jera dan takut dengan momok hukuman yang di berlakukan di Indonesia.


Tepat di tanggal 17 Agustus 2024 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna  H. Laoly, mengumumkan sebanyak 176.984 narapidana dan Anak Binaan menerima Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU) Tahun 2024.


Menurut Yassona dengan pemberian remisi dan pengurangan masa pidana ini,  pemerintah menghemat anggaran negara sebesar lebih kurang Rp 274, 36 miliar dalam pemberian makan kepada narapidana dan Anak Binaan. (www.metro.tempo.co, 18/0824)


Bahkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Cipinang Enget Prayer Manik, berharap bagi narapidana yang mendapatkan remisi HUT RI dan langsung bebas, untuk tidak kembali lagi. Hal ini disebabkan lapas dengan keamanan tinggi tersebut ternyata sudah kelebihan penghuni dan kondisinya penuh sesak (overcrowded).


Namun disisi lain ketika kita melihat fakta di lapangan, ada banyak sekali mantan narapidana yang malah ketika sudah keluar penjara, namun melakukan kejahatan lainnya lagi. Dan dalam hal ini seorang Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, setidaknya ada 4 kemungkinan mengapa para mantan narapidana sering sekali kembali berulah. (www.kompas.com, 19/4/20)


Alasan pertama dituturkan alasannya karena tidak adanya efek jera, karena sebagian napi mampu bersosialisasi dengan baik di penjara, mendapatkan makan secara rutin, dan hal-hal lain yang bahkan lebih memudahkan hidupnya di dalam penjara, dibandingkan diluar penjara, sehingga napi menjadi betah dan tidak merasa jera.


Alasan kedua di karenakan minimnya persiapan, ketika para napi keluar dengan persiapan dari segi hukum, budaya, ekonomi (termasuk bagaimana mencari pekerjaan), mental dan spiritual. Napi yang ketika keluar namun tahapan persiapan tersebut belum tuntas, maka akan mengalami ketidakpatuhan hukum di luar sana.


Ketiga dikarenakan napi yang terbebas tidak memiliki tabungan atau pekerjaan, sehingga dalam kondisi terjepit dapat membuat sang mantan narapidana tersebut berbuat nekat untuk melakukan hal yang sama kembali, karena tuntutan kehidupan tersebut.


Keempat dikarenakan bawaan atau sifat yang melekat pada diri pribadi sang narapidana, atau secara sosial artinya dia terpengaruh teman dekat dan lingkungan sehingga napi akan berusaha mencari peluang-peluang mumpung bebas (www.kompas.com, 19/4/20)


Ironi seperti ini terjadi dalam beberapa kasus, penjara merupakan tempat yang menakutkan bagi sang napi, namun malah menjadi tempat transfer ilmu kriminal yang sangat canggih lagi.


Penjara seolah hanya akan menumpuk para kriminal, dan membuat mereka bersatu padu memikirkan kejahatan lainnya yang akan mereka lakukan, lengkap dengan berbagai trik dan tips jitu yang dibagi didalamnya, antar sesama pelaku kriminal tersebut.


Hal inilah yang membuat penjara bukan menjadi solusi yang benar-benar membabat tuntas kejahatan yang terjadi di masyarakat nampaknya. Namun harus ada sesuatu yang benar-benar dapat memberikan efek jera kepada para pelaku, baik itu kasus kecil maupun kasus besar sekalipun seperti narkoba dan korupsi.


Permasalahannya adalah pada dasarnya Indonesia menganut sistem hukum campuran, dimana hukum adat dan hukum agama pada awalnya memegang peranan kuat terhadap pengembangan hukum di Indonesia, yang terdiri dari sistem hukum Eropa kontinental.


Namun pada akhirnya hukum agama dan adat dianggap yang dan tidak relevan, Indonesia mengambil dan meniru sistem hukum Belanda. Kita tau Belanda adalah negara yang sekuler yang setengah dari populasi warganya sendiri tidak beragama, maka sudah barang tentu sistem hukum dan pemerintahan pun akan jauh dari nilai norma agama.


Indonesia yang terjangkiti virus sekuler setelah peninggalan penjajah dahulu, tanpa sadar telah mengambil pula sistem hukum dengan kehidupan dan tata aturan sekuler tersebut.padahal penduduk Indonesia adalah negara berketuhanan, yang bahkan mayoritas masyarakatnya memeluk Islam.


Termasuk budaya remisi yang mulai di perkenalkan pada masa Hindia Belanda yang di berikan kepada narapidana tertentu secara subjektif dalam rangka merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda pada 10 Agustus 1935.


Pada akhirnya, semua aturan yang tidak berasal dari sang maha pencipta hanya akan membuat ketidak seimbangan kehidupan manusia terjadi. Sistem sanksi penjara tidaklah menjerakan sang pelaku, dan kejahatan banyak yang terjadi berulang, dan makin lama semakin beragam.


Hukum pun kini dengan mudah dapat dibeli, sehingga agar napi mendapat remisi terkesan mudah sekali, dengan alasan lapas yang telah mencapai kapasitas maksimal (overcrowded). Alasan pemerintah pun seolah tidak membawa solusi dan terkesan lepas tangan, bahwa menekan angka pengeluaran negara, terhadap beban makan para napi adalah solusi yang ampuh terhadap masalah ini.


Maraknya kejahatan individual juga menggambarkan lemahnya kepribadian individu, dan ini erat dengan kegagalan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Sistem pendidikan tidak mengubah karakter manusia menjadi lebih paham hakekat hidup, namun sistem pendidikan yang ditetapkan kini hanyalah demi mengejar nilai belaka.


Sistem hukum yang tidak menjerakan ini sebenarnya merupakan cabang dari sistem pidana yang bermasalah. Karena sistem pidana kita adalah warisan hukum Belanda sehingga merupakan buatan manusia. Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) merupakan warisan Belanda yaitu, "Wetboek  Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie" (WvS) yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.


Untuk saat ini KUHP sudah mengalami beberapa perubahan, dimana perubahan tersebut juga atas dasar pertimbangan manusia. Atas dasar perhitungan dan hasil pemikiran manusia, maka sistem pidana yang menjadi rujukan pemberian sanksi ini bersifat tidak baku, mudah berubah sesuai kepentingan, dan sangat mudah disalah gunakan hanya bagi kepentingan segelintir manusia.


Contoh nyata misalkan, dengan kekuatan uang maka narapidana akan mampu membeli kemewahan didalam lapas, bahkan tidak jarang juga yang mampu membeli kebebasan itu sendiri. Belum lagi masa tahanan yang mampu di kurangi berkali-kali dalam setahun, sehingga lebih pendek dari yang diputuskan oleh pengadilan. Maka sistem hukum seperti inikah, kita mengharapkan tatanan hukum dan peradilan yang mampu memberantas kejahatan hingga ke akarnya? Akibat dari sistem buatan manusia sudah barang tentu adalah kerusakan dan ketidak seimbangan kehidupan.


Inilah buah dari kebobrokan sistem demokrasi yang berlaku saat ini, sistem yang berlandaskan kebebasan dalam segala hal. Selama seseorang memiliki uang, maka dia akan mampu membeli segalanya, bahkan kebebasan sekalipun. Sistem demokrasi yang menjadi cikal bakal dari sekularisme ini, tidak menitikberatkan pada ketakwaan kepada tuhan, karena memang sekularisme lahir di Eropa dengan trauma tersendiri terhadap agama, sehingga kehidupan harus berjalan terpisah dari agama.


Berbeda jauh dengan sistem Islam, yang memiliki mekanisme dalam pencegahan dan pemberantasan tindak kejahatan kriminal, sehingga tingkat kasus yang terjadi sangatlah minim.


Penerapan aturan syariat Islam, akan menjadi kunci dari terwujudnya keamanan dan perlindungan masyarakat dari kejahatan. Sistem Islam mengenal adanya tiga pilar penegakan hukum, yang pertama kita mengenal dengan pilar ketakwaan individu sehingga hal ini memungkinkan tercegah dari perilaku jahat.


Pada pilar kedua, ada amar ma'ruf nahi mungkar yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga bila setiap ada kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat maka akan dapat segera terdeteksi, dan peran masyarakat akan mengajak dan mensuasanakan sang pelaku untuk kembali bertaubat, serta memberlakukan sanksi yang tegas dan adil oleh negara.


Dan terakhir dari segi pencegahan, maka ada peran negara yang harusnya menjamin kesejahteraan masyarakatnya individu per individu. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab atas jaminan kesejahteraan masyarakatnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.


Jaminan kesejahteraan yang diberikan secara langsung, seperti jaminan fasilitas dan pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan keamanan gratis. Sehingga masyarakat sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun ketika ingin mengakses fasilitas tersebut.


Sedangkan jaminan secara tidak langsung yaitu, dimana pemerintah dengan menggunakan sistem Islam membuka dan menjamin lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya seluas-luasnya. Sehingga setiap laki-laki dewasa akan dapat bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan demikian, maka para wanita, anak-anak dan lansia akan mudah tertanggungi nafkahnya oleh para wali mereka. Hal ini akan membuat para wanita juga akan mampu untuk lebih fokus dalam mendidik anak-anak sebagai penerus bangsa, yang akan menciptakan ketaatan individu seperti penjelasan diatas.


Didalam negara yang menerapkan sistem Islam, maka sistem pendidikan Islam akan menjadi titik fokus pencerdasan taraf berfikir masyarakat, yang akan menciptakan Individu yang beriman dan bertaqwa.


Sistem sanksi juga sangat di perhatikan, karena dalam pemerintahan Islam memiliki sistem sanksi yang khas dan tegas. Setiap kejahatan akan ditindak tanpa pandang bulu, terlepas apapun status sosial dari sang pelaku, maka sanksi dalam Islam akan bertindak tegas. Sanksi dalam Islam bisa berupa hukum jinayah, hudud, takzir, maupun mukhalafat.


Jenis hukuman penjara, bukanlah satu-satunya pilihan dalam menentukan hukuman, bagi seorang yang telah terbukti melakukan kesalahan. Dan kalaupun ada yang akan diberikan sanksi hukuman penjara, maka tidak akan mungkin dia mendapatkan pengurangan masa tahanan.


Ini semua karena dalam sistem Islam, prinsip penerapan sanksi kepada pelanggar hukum ada dua. Yaitu, yang pertama adalah  jawabir (atau sebagai penebus dosa sehingga kelak diakhirat ia tidak akan di azab lagi terkait perkara tersebut). Kemudian yang kedua yaitu, zawajir (sebagai efek jera kepada pelaku tindak kejahatan).


Inilah yang akan dilakukan pemerintahan dengan menggunakan sistem Islam, seperti masa kekhalifahan dahulu, dimana angka kejahatan yang terjadi sangat sedikit. Bahkan dalam 200 tahun kejayaan Islam, tercatat hanya ditemukan 20 kejahatan saja, yang kemudian di eksekusi oleh Daulah pada masa itu.


Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, dimana sistem tersebut di ciptakan langsung oleh Allah SWT, sebagai Tuhan sekalian alam. Maka sudah barang tentu aturan dari sang Maha pengatur, akan membuat kehidupan berjalan selaras dan seimbang, sehingga terwujud menjadi Islam Rahmatan Lil'alamiin.


Wallahu 'alam bishawwab.


Penulis: Vinda Puri Orcianda

×
Berita Terbaru Update