Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Sehatnya Demokrasi, Solusi?

Kamis, 15 Agustus 2024 | 23:11 WIB Last Updated 2024-08-15T15:11:02Z

Ryang Adisty Farahsita, M.A.

LorongKa.com - 
Beberapa kalangan memiliki anggapan bahwa akar masalah negeri ini adalah karena rusak atau cacat-nya penerapan demokrasi. Ketika ada masalah yang terjadi di negeri ini, pembahasan yang terjadi cenderung menyalahkan bahwa ada oknum-oknum yang gagal menjalankan demokrasi yang sehat. Pakemnya adalah demokrasi itu baik, oknumnya yang buruk.


Jika masalah terus terjadi berulang-ulang walau telah berganti subyek pelaksana-nya, bukankah perlu dipertanyakan ulang narasi "demokrasi itu baik"? Benarkah bahwa demokrasi itu benar-benar baik?


Untuk menakar baik buruk suatu hal, tentu harus memakai sebuah perspektif. Sebagai muslim, tentu takaran mutlak yang harus dipakai adalah perspektif aqidah atau keimanan. "Baik" dalam perspektif Islam tentu artinya tidak ada pertentangan dengan syariat Islam. Begitupun sebaliknya, hal yang bertentangan dengan syariat Islam dinilai "buruk" dan harus ditinggalkan.


Lantas demokrasi yang identik dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat apakah sejalan dengan pandangan Islam?


Dalam memaknai prinsip “rakyat adalah pemegang kedaulatan”, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PSHTN FHUI, 1983), hal. 328.).

 

Asshidiqie juga menyampaikan sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan, rakyat menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan, serta menentukan tujuan yang hendak dicapai negara. (Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 168.


Dalam implementasinya, pembuatan aturan dalam kehidupan di negara yang mengadopsi demokrasi diserahkan kepada rakyat atau yang mewakilinya. Sederhananya, kewenangan membuat hukum diserahkan pada manusia.


Padahal, dalam Al-Quran ada ayat-ayat yang menegaskan wajibnya berhukum dengan hukum Islam. Dalam surat Al Maidah ayat 44 menyebutkan bahwa barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka bisa dihukumi sebagai orang kafir. Kemudian di surat yang sama ayat 45 disebut sebagai orang fasik dan dalam ayat 47 disebut sebagai orang dzalim. Lantas sebagai muslim yang menginginkan keselamatan dunia akhirat, masihkah demokrasi pantas dikatakan baik dan layak dijadikan solusi?


Apalagi secara fakta akhirnya justru demokrasi menjadi jalan masuknya kerusakan demi kerusakan. Masih lekat di ingatan masyarakat Indonesia berbagai kontroversi yang terjadi di pilpres 2024 lalu terjadi karena sistem demokrasi memberikan ruang kebebasan yang mudah disalahgunakan. UU Cipta Kerja yang membuat berbagai kalangan mulai dari buruh hingga nakes menderita, lahir dari demokrasi yang memberi celah manusia membuat aturan kehidupan. UU Minerba, UU ITE, UU KPK yang sarat dengan masalah juga lahir dari tangan-tangan manusia yang dilegitimasi oleh demokrasi.


Jikapun dianggap bahwa demokrasi menghasilkan kebaikan bagi negara yang menerapkannya, mengapa Amerika Serikat yang selama ini dikenal sangat keras menghukum pemimpin negara lain yang dianggap tidak demokratis, justru dalam pelaksanaan politik luar negerinya seolah boleh saja sewenang-wenang?


Atas nama demokrasi Amerika melakukan berbagai invasi di negara lain. Sebutlah Irak, Afganistan, Libya, Lebanon, dll. Dalam sistem demokrasi pula Amerika tetap berada di posisi aman ketika menolak protokol yang berkaitan dengan lingkungan, misal menolak ratifikasi Protokol Kyoto dan keluarnya AS dari Paris Agreement. Apakah peristiwa-peristiwa politik ini pantas dikecilkan untuk tidak dianggap sebagai masalah besar?


Penulis: Ryang Adisty Farahsita.

×
Berita Terbaru Update