Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Impor, Akal-akalan Rezim Kapitalis

Minggu, 15 September 2024 | 13:11 WIB Last Updated 2024-09-15T05:11:59Z


LorongKa.com - 
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia masih akan melakukan impor beras tahun ini. Jumlah komitmen impor beras yang bakal masuk ada 3 juta ton. Sejauh ini yang sedang diproses untuk impor secepatnya ada 2 juta ton.


"Tahun lalu kita sudah impor sekitar 3,5 (juta ton). Tahun ini 2 juta sedang berproses, tapi kita siapkan 3 juta," ungkap Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan.


Soal anggarannya, Airlangga tidak mengungkapkannya. Menurutnya semua sesuai dengan harga beras di pasar global. "Ya itu kira-kira itu kan tergantung realisasi harga beras per tonnya berapa," ujar Airlangga. (Detik.com, 9/01/2024).


Impor, itulah kata paling mujarab untuk mengatasi kelangkaan pangan di negeri ini. Bukan tanpa sengaja, kebijakan impor merupakan sebuah paradigma berpikir instan tanpa ada upaya maksimal untuk terlepas dari problem krisis ekonomi yang mendera saat ini. Pihak pemerintah sendiri memang tidak pernah menargetkan untuk meningkatkan produksi lokal jadi impor tersebut memang sudah didesain untuk selalu dilakukan.


Dari keputusan impor oleh pemerintah inilah para importir tersebut mendapatkan cuan dalam jumlah besar, karena jumlah yang diimpor mencapai satu juta ton. Alhasil, mereka berpesta pora di atas penderitaan rakyat. Cuan tersebut merupakan kompensasi atas dukungan finansial para oligarki terhadap pejabat yang berkuasa. Atas jasa para oligarki itulah, para pemimpin tersebut bisa menduduki kursi kekuasaan.


Jika pemerintah terus saja membuat kebijakan yang pro pada oligarki, bisa dipastikan kemelut seputar beras akan terus terjadi setiap tahun. Ini adalah kebijakan yang zalim. Demi mengamankan dukungan oligarki baginya, oknum penguasa tertentu mengorbankan rakyatnya.


Indonesia pernah mengalami swasembada beras pada 1984, bahkan bisa menyumbang 100.000 ton beras untuk rakyat Afrika. Sayangnya, swasembada beras ini hanya bertahan selama lima tahun.


Seiring dengan minimnya peran pemerintah pada sektor pertanian, produksi beras lokal makin tidak mencukupi kebutuhan penduduk. Bukannya bersegera membenahi pertanian dalam negeri, pemerintah justru meratifikasi regulasi internasional, maka terjadilah liberalisasi sektor pertanian secara nyata. Pertanian dan nasib petani Indonesia diserahkan kepada mekanisme pasar bebas.


Perjanjian itu mengharuskan Indonesia meliberalisasi pasar komoditas pangannya, menghapus hambatan tarif dan hambatan lainnya, serta mencanangkan swastanisasi pangan. Akibatnya, pangan hanya dipandang sebagai komoditas yang harganya boleh naik turun mengikuti pergerakan pasar. Liberalisasi pangan ini adalah pandangan khas kapitalisme yang rusak dan zalim sehingga harus dihentikan demi kemaslahatan rakyat.


Di dalam Islam, pangan adalah kebutuhan dasar manusia. Sabda Rasulullah saw.,


“Siapa di antara kalian yang berada pada waktu pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia ini telah diberikan kepadanya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).


Negara sebagai institusi politik yang bertugas melakukan pengurusan urusan rakyat (riayah syu’unil ummah) wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Islam mewajibkan penguasa (khalifah) untuk memastikan tiap-tiap individu rakyat bisa tercukupi kebutuhan pangannya secara layak. Khilafah tidak hanya wajib memastikan stok pangan aman, tetapi juga memastikan rakyat bisa memperolehnya dengan harga yang terjangkau.WalLaahu a'lam


Penulis: Ika Wulandriati, S.Tp

×
Berita Terbaru Update