Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Otak Atik Dana Pendidikan, Hak Rakyat Terus Disoal?

Minggu, 15 September 2024 | 13:32 WIB Last Updated 2024-09-15T05:32:27Z

Khairani Novia, S.Pd (Mahasiswi Pascasarjana, Aktivis Muslimah Yogyakarta)

LorongKa.com - 
Saat masalah pendidikan belum tuntas diantaranya uang kuliah mahal, lulusan sekolah kesulitan mencari kerja belum lagi gaji guru di banyak daerah yang memprihatinkan. Namun Pemerintah kini justru berencana mengutak atik dasar hitungan anggaran pendidikan dari semula belanja menjadi penerimaan negara. Padahal baru bulan kemaren pemerintah mendapat seruan dari banyak lapisan masyarakat termasuk mahasiswa dan aktivis adanya “Peringatan Darurat” menunjukkan kondisi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Permasalahan yang sangat kompleks hingga tidak mampu jika diselesaikan secara separation tapi butuh sistem. Alih-alih perubahan yang diharapkan bakalan muncul ke permukaan malah hak rakyat yang harusnya diperjuangkan malah dipersoalkan.


Wacana ini awalnya mencuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan basis 20% mandatory spending (anggaran wajib) dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Usulan ini berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (mengacu pada belanja negara) dapat turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (mengacu pada penerimaan negara). Sebagai informasi, mandatory spending adalah pengeluaran negara yang diatur oleh Undang-Undang dengan tujuan mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi antar-daerah. Sejak 2009 pemerintah diwajibkan menyisikan 20% dari APBN telah dialokasikan untuk pendidikan. Sri Mulyani, yang sudah lebih dari 10 tahun menjabat sebagai Menteri Keuangan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), mempertanyakan konsistensi dalam pengalokasian anggaran pendidikan. Menurutnya, basis 20% dari belanja negara kerap tidak dapat direalisasikan secara penuh. "Anggaran pendidikan 20% dari belanja negara sering kali tidak pasti dan realisasinya fluktuatif," ungkap Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Bisnis.com, 4/9/2024). 


Mengomentari hal ini Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) turut menyampaikan gagasan penolakannya ia menilai kebijakan mandatory spending ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah. "Jika sudah ditetapkan 20% dari belanja untuk pendidikan, itu tidak boleh diutak-atik. Wacana untuk merombaknya menurut saya tidak tepat," ujar Bhima. Bhima juga menjelaskan, meskipun anggaran pendidikan sering dievaluasi karena dianggap tidak tepat sasaran dan bahkan ada indikasi korupsi, itu tidak berarti anggaran tersebut harus dikurangi. Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efektivitas program, bukan mengurangi anggaran secara keseluruhan (Bisnis.com, 5/9/2024).


Komisi X DPR RI pun ikut menolak usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kebijakan 20 persen anggaran pendidikan yang mengacu pada APBN. Menkeu mengusulkan agar mandatory spending untuk pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dikaji ulang. Ketua Komisi X DPR RI Saiful Huda dengan tegas menolak usulan menkeu tersebut. Menurutnya, jika anggaran pendidikan disediakan melalui pendapatan negara, maka akan timbul masalah baru. Tidak hanya itu Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) menyinggung kebiasaan memotong anggaran pendidikan. 


Menurutnya, jika kebiasaan seperti itu berlanjut maka pendidikan tidak akan semakin membaik dan anggaran tidak akan pernah cukup. Anggaran jangan dipotong-potong disemua tempat. di DPR potong, sampai di daerah dipotong bahkan guru pun jadi ikut-ikutan motong, jadi hal seperti ini tidak baik," kata JK dalam acara diskusi kelompok terpumpun bertajuk 'Menggugat Kebijakan Pendidikan' di Jakarta (KBRN, 7/9/2024). 


Kebijakan memotong anggaran pendidikan memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan. Mungkin kita pernah berpikir bagaimana mungkin Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini, tapi masih banyak kita menjumpai anak jalanan di mana-mana, pengangguran, putus sekolah, sekolah yang tidak layak, siswa yang harus berjuang untuk mencari biaya agar bisa merasakan duduk di bangku kuliah. 


Lalu mengapa sebenarnya hal ini terjadi? Tentu saja dikarenakan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tidak pada tempatnya. Indonesia yang kaya hanya sebagai label saja hari ini, tapi tidak semua lapisan masyarakat mampu untuk merasakannya. Pengaturan ini sangat erat sekali kaitannya dengan sistem yang diterapkan hari ini yakni kapitalisme. Maka wajar jika hari ini permasalahan pendidikan tidak turut terselesaikan malah makin darurat. 


Kapitalisme menjadikan pemimpin, pejabat maupun segelintir orang untuk fokus pada unsur materi semata, ketika kebijakan tersebut menguntungkan maka diterapkan sekalipun merugikan rakyat. Korupsi dana pendidikan pun hasil dari sistem kapitalisme ini. Sehingga fokusnya bukan lagi untuk memperjuangkan hak rakyat. Maka wajar kapitalisme mengatasi permasalahan ini dengan membuat kebijakan otak atik dana pendidikan yang tidak masuk akal. 


Ketika permasalahannya yaitu korupsi dana pendidikan tetapi kebijakan yang diambil justru mengurangi dana pendidikan. Akhirnya hak rakyat yang menjadi persoalan. Sudah berapa banyak ketidakadilan hari ini, mulai dari gaji guru pendidik yang tidak setara dengan apa yang telah ia lakukan. Kemudian guru honorer yang tidak dibayar dan lain sebagainya. 


Inilah akhirnya yang menjadi permasalahan kompleks ketika kita menerapkan hukum buatan manusia yang sejatinya hanya menghandalkan otak manusia yang terbatas. Ibaratnya rumah yang sudah mau roboh masih dipertahankan dengan ditambal bagian dinding-dinding yang retak. Permasalahannya itu bukan pada dinding nya tapi rumahnya yang harus dihancurkan dan dibangun kembali. Seperti itulah permasalahan pendidikan hari ini, yang harus diganti adalah sistem nya. Sistem pendidikan kapitalisme menjadi sistem pendidikan dari pengaturan pencipta.


Berbeda dengan sistem Islam, Menurut M. Ismail Yusanto dalam bukunya yang berjudul Menggagas Sistem Pendidikan Islam bahwa pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan dikaitkan dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan setelahnya, serta kaitan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam. Pendidikan dalam sistem Islam memiliki visi yang jelas, yakni mencetak generasi dengan pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. 


Dengan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, sistem Islam telah mampu melahirkan generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya. Ditopang dengan ekonomi Islam yang menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam, seluruh elemen masyarakat dapat merasakan hak pendidikan secara gratis. Negara dalam sistem Islam mampu berperan dalam menjamin hak pendidikan, menyusun kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, dan menciptakan lingkungan dengan ketakwaan komunal melalui sistem pergaulan Islam. 


Peran orang tua dioptimalkan sebagai pendidik utama dan pertama. Dengan begitu, anak-anak tumbuh dalam suasana kondusif dan tercipta kepribadian Islam yang unik dan khas. Serta guru sebagai pendidik pun dimuliakan, diberikan gaji yang setimpal dengan apa yang telah dilakukan. Kemudian mengenai pencegahan adanya korupsi dana pendidikan dalam sistem Islam sangat kecil kemungkinannya.


Dalam Islam pemimpin adalah amanah yang sangat berat. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sungguh miris, jika amanah ini diabaikan begitu saja tidak memperhatikan beban yang dipikulnya. Seorang pemimpin yang bertaqwa akan memperhatikan betul nasib rakyatnya. Tidak akan ada perbedaan baik itu wilayah kota maupun desa. Dana yang seharusnya diperoleh akan dimaksimalkan bagaimana bisa tersalurkan kepada rakyat dan pembangunan bisa merata. Dalam Islam seorang pemimpin atau khalifah sangat berperan dominan memastikan semua terlaksana. 


“Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang – orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).


Sistem Islam akan menjaga setiap individu dalam Negara untuk selalu taat pada aturan RabbNya. Tidak akan ada celah sedikitpun untuk berbuat sewenang-wenang, sehingga mendzalimi kaum muslim yang lain. Masyarakat juga proaktiv memberikan muhasabah pada pemimpin yang berbuat dzalim, pun sebaliknya pemimpin akan menjadi junnah atau perisai bagi umat. Wallahu ‘alam bisshawab


Penulis: Khairani Novia, S.Pd

×
Berita Terbaru Update