Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Deflasi dan Turunnya Daya Beli: Sinyal Bahaya Ekonomi

Minggu, 20 Oktober 2024 | 16:26 WIB Last Updated 2024-10-20T08:26:17Z

Ryang Adisty Farahsita, M.A. Pegiat Opini

LorongKa.com - 
Beberapa bulan ini media diramaikan dengan pemberitaan deflasi beruntun yang melanda Indonesia selama 5 bulan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada bulan September 2024 deflasi tercatat sebesar 0,12%. Sebelumnya, deflasi pada bulan Mei adalah 0,03%, Juni 0,08%, Juli 0,18%, dan Agustus 0,03%.

 

Kompas bahkan melansir berita bahwa deflasi lima bulan berturut-turut ini hampir menyamai kondisi krisis keuangan Asia yang melanda pada tahun 1999. Saat itu terjadi deflasi tujuh bulan berurutan pada rentang Maret-September 1999.

 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam laman-nya mendefinisikan deflasi adalah fenomena penurunan harga yang ada di dalam suatu wilayah, yang bisa terjadi karena kekurangan jumlah uang beredar yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun.

 

Beberapa penyebab terjadinya deflasi ialah penurunan jumlah uang beredar di masyarakat karena cenderung menyimpan uangnya di bank, berkurangnya permintaan barang sementara produksi akan barang terus meningkat atau tidak bisa dikurangi dan masyarakat tidak lagi mengkonsumsi barang tersebut karena bosan atau membatasi pembelian, serta perlambatan kegiatan ekonomi sehingga banyak pekerja yang terdampak karena berkurangnya penghasilan sehingga jumlah uang beredar di masyarakat pun menjadi berkurang.

 

Saat ini pemerintah, pakar, dan pengamat ekonomi masih belum satu kata dalam mengeluarkan analisis terkait penyebab terjadinya deflasi berturutan. Masih terjadi perdebatan apakah penyebabnya adalah penurunan daya beli ataukah faktor lain.

 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto justru menanggapi deflasi berturut-turut 5 bulan di negeri ini dengan positif. Dikatakan bahwa kondisi saat ini adalah buah sukses pemerintah mengendalikan harga. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini deflasi yang telah terjadi selama lima bulan beruntun ini bukan sinyal negatif bagi perekonomian.

 

Berbeda dengan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, beberapa ahli dan pengamat justru melihat deflasi ini sebagai sinyal bahaya karena dikaitkan dengan fenomena penurunan daya beli masyarakat menengah. Sebagian ahli lain berpendapat bisa saja ada kaitan deflasi dengan penurunan daya beli. Namun hal ini masih perlu studi dan pengkajian lebih mendalam.

 

Terlepas dari apa penyebab utama deflasi, kondisi menurunnya daya beli masyarakat saat ini adalah fakta yang tidak terelakkan. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan mengeluhnya para pelaku usaha akan lemahnya daya beli masyarakat, sepinya pasar tradisional, hingga banyaknya pedagang yang gulung tikar karena lesunya perekonomian.

 

Penurunan daya beli pada bahan pangan harian seperti cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang dan wortel menunjukkan rumah tangga bahkan mulai menekan konsumsi untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi saat ini. Sungguh ironis jika justru kondisi ini ditanggapi secara positif.

 

Di kelas menengah yang didominasi kaum pekerja saja, gaji sudah tak bisa ditabung. Jangankan ditabung, justru berkurang untuk menyambung hidup. Data yang dihimpun oleh redaksi Metro TV, saldo rata-rata rekening dibawah 100 juta menurun 50% dibandingkan tahun 2019. Pada tahun 2019 saldo rata-rata nya adalah Rp. 3.000.000, 00 sedangkan di tahun 2024 ini menurun hingga  Rp. 1.500.000, 00. Maknanya, porsi pengeluaran masyarakat lebih besar dibandingkan pendapatan yang diterima sehingga masyarakat mulai "makan" uang tabungan.

 

Bahkan pinjaman sudah dianggap sebagai solusi menghadapi sulitnya kehidupan sehari-hari. Dilaporkan oleh redaksi Metro TV bahwa terjadi peningkatan signifikan pada penyaluran pinjaman online semenjak bulan Maret 2024. Tercatat penyaluran tiap bulannya (dalam triliun) yaitu Maret 22.76 T, April 21.68 T, Mei 64.5 T, Juni 66.79 T, Juli 69.39 T, Agustus 72.03 T.

 

Bagaimana mungkin semua hal ini tidak terjadi ketika kebutuhan pendidikan anak, dana kesehatan, biaya sewa rumah, pajak, listrik, air, jaminan kesehatan, BBM, hingga dana komunikasi (pulsa, paket data, dll) memiliki tren meningkat yang tidak berkorelasi dengan peningkatan gaji.

 

Wajar jika kemudian muncul data survei BPS pada akhir Agustus lalu yang menunjukkan 5 tahun terakhir jumlah penduduk kelas menengah turun ke kelompok bawah (miskin).

 

Kondisi yang seperti ini di tengah deflasi jelas menjadi red flag perekonomian negeri ini. Deflasi menciptakan siklus negatif di mana rendahnya daya beli menurunkan produksi, yang selanjutnya dapat mengurangi lapangan kerja dan kesejahteraan secara keseluruhan.


Dalam kondisi serba karut marut saat ini, wajar jika kemudian rakyat mempertanyakan apakah sistem saat ini yang bergantung pada aturan buatan manusia layak terus digunakan? Bukankah sudah saatnya menyadari bahwa aturan dari Allah SWT adalah satu-satunya sistem yang berhak mengatur kehidupan?


Penulis: Ryang Adisty Farahsita.

×
Berita Terbaru Update