Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Program Anti Radikalisme: Esensial atau Artifisial?

Minggu, 20 Oktober 2024 | 16:01 WIB Last Updated 2024-10-20T08:04:58Z

Ryang Adisty Farahsita, M.A. Aktivis Muslimah, Pegiat Opini Sleman Yogyakarta

LorongKa.com - 
Lagi dan lagi program anti radikalisme kembali digaungkan di kalangan pelajar dan kaum muda bagaikan mantra sihir yang tak berhenti di rapal. Di tengah sengkarut masalah negeri ini, sangat wajar apabila kemudian muncul narasi yang mempertanyakan urgensinya program ini. Apalagi di tengah kaum muda saat ini yang sedang dilingkupi masalah yang sangat kompleks. Mulai dari masalah pergaulan bebas berujung Kehamilan Tak Diinginkan  (KTD), bullying, maraknya peredaran miras, problem kesehatan mental berujung bunuh diri berulang, judi online, pinjaman online, kriminalitas remaja, hingga pengangguran.

Tidak hanya itu, permasalahan kaum muda saat ini  bertambah kompleksitasnya karena krisis identitas. Akibatnya muncul anomali perilaku seperti  FOMO (Fear of Missing Out) atau takut tertinggal trend hingga menyebabkan perilaku konsumtif yang diluar nalar. Misalkan saja kehebohan trend boneka labubu yang mendorong Gen Z untuk antri dari subuh dan mengamuk ketika kehabisan stok. Bahkan ada yang rela dengan membeli boneka tersebut dengan harga yang tidak masuk akal. War tiket Coldplay gila-gilaan beberapa waktu lalu juga dipicu budaya FOMO ini. Lantas, apakah radikalisme yang menjadikan kaum muda ini memiliki pola pikir dan pola sikap yang demikian? Lalu, mengapa justru program anti radikalisme yang marak disosialisasikan di tengah-tengah pemuda saat ini?

Bahkan ironisnya, kerapkali radikalisme saat ini dikaitkan dengan ajaran Islam. Pada tahun 2020 Menteri Agama kala itu, Fachrul Razi, menyatakan radikalisme identik dengan muslim hafidz, berpenampilan good looking, cadar, dan celana cingkrang. Sempat juga berkembang opini bahwa masjid dan rohis menjadi tempat berkembangnya paham radikalisme.

Baru-baru ini pernyataan Sekretaris Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY, Dewo Isnu Broto Imam Santoso SH disela acara 'Smart Bangsaku, Bersatu Indonesiaku' di MTs Al Mahalli Wonokromo Pleret Bantul pada tanggal 19 September 2024 juga menyiratkan narasi senada. Dewo mengungkapkan secara spesifik bahwa pencegahan terjadinya kegiatan radikalisme dan terorisme dilakukan melalui kegiatan pengajian, maupun kegiatan anak-anak dilingkungan pondok. Pernyataan ini seolah menjustifikasi bahwa radikalisme tumbuh di tengah-tengah umat Islam karena ajaran Islam.

Bukti lainnya ialah saat ini agenda moderasi beragama gencar disosialisasikan ke berbagai kalangan umat Islam baik di sekolah, pesantren, maupun institusi pemerintah lainnya. Padahal, program moderasi beragama yang digulirkan justru berusaha membuat seorang muslim mengkompromikan syariat dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Jelas, hal seperti ini justru melemahkan ketaqwaan. Padahal, ketaqwaan individu adalah benteng awal yang mampu mencegah seseorang agar tidak jatuh pada kemaksiatan maupun kejahatan lainnya.

Islam juga memiliki seperangkat aturan yang justru dapat mencegah dan menyelesaikan kompleksitas masalah yang melanda generasi maupun negeri ini. Misalkan berkaitan dengan pergaulan, Islam memiliki aturan khusus seperti batasan aurat, aturan ikhtilat, khalwat, dsb. Aturan-aturan ini akan menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia.

Islam juga memiliki pandangan yang khas terkait kehidupan yang membuat seorang muslim percaya diri dengan identitas nya dan mengetahui tujuan hidupnya di dunia. Hal ini dapat membentengi generasi dari perbuatan maksiat, kriminal, hingga mencegah keputusasaan terhadap kehidupan.

Ironisnya lagi, sosialisasi program anti radikalisme kerap kali disatukan dengan isu terorisme. Akibatnya, terbentuk opini ketakutan terhadap ajaran Islam. Bagaimana tidak, radikalisme dikaitkan dengan sikap kepatuhan terhadap ajaran Islam sekaligus dikaitkan dengan kedekatannya pada terorisme. Secara tidak langsung seolah menyimpulkan muslim yang taat pada ajarannya rentan dekat dengan aktivitas terorisme.

Stigma seperti ini menyebabkan ketakutan di kalangan umat Islam untuk memperdalam ajaran agamanya sekaligus menebar kecurigaan di tengah masyarakat terhadap aktivitas yang ditegakkan oleh umat Islam. Tak jarang nuansa penuh curiga ini kemudian dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengadu domba umat Islam. Diantaranya, persekusi ulama dan pembubaran pengajian mewarnai dinamika kehidupan umat Islam semenjak narasi radikalisme ini dihembuskan.

Disisi lain, tindakan brutal yang jelas mengandung unsur terorisme sangat jarang dilekatkan dengan istilah terorisme. Pembantaian muslim Palestina oleh Yahudi, pembantaian muslim Rohingnya di Myanmar, dan beberapa kasus penembakan massal di Barat justru hampir tidak pernah dilekatkan dengan istilah terorisme.

Terlebih hal-hal bernuansa maksiat seperti maraknya lokalisasi berkedok salon maupun lokasi karaoke, gerai miras, situs pornografi, judi online, hingga konser-konser musik yang identik dengan aktivitas merusak moral seolah tidak ditangani secara serius pemberantasan-nya.

Jika demikian, validkah yang mengatakan bahwa program anti radikalisme ini esensial untuk mengatasi masalah bangsa? Melihat fakta-fakta nya apakah berlebihan jika dikatakan bahwa justru agenda ini adalah agenda artifisial dengan tujuan menjauhkan generasi dan umat dari Islam?

Benar-benar sungguh sangat mengherankan upaya pemerintah saat ini dalam menyerukan program antiradikalisme. Sosialisasi nya menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat. Padahal, permasalahan utama negeri ini bukanlah radikalisme. Masalah negeri ini jelas masih berputar di ekonomi yang makin sulit, hutang negara yang terus berlipat, kesejahteraan masyarakat yang jauh dari kata standard, moral generasi yang rusak, KKN di berbagai lini, kekuasaan oligarki, dinasti politik, hingga politik dan hukum yang carut marut. Namun mengapa pemerintah masih saja menjadikan isu radikalisme seolah menjadi masalah besar negeri ini untuk segera dihadapi? Seolah radikalisme jadi kambing hitam atas seluruh masalah negeri ini.

Lalu, siapakah pemilik program ini? Siapa pula yang diuntungkan dari agenda ini? Bangsa ini? Tentu tidak, karena bukan masalah negeri ini yang diselesaikan. Tidak akan pernah ada benang merahnya program antiradikalisme dan moderasi beragama bisa menjadi jawaban atas masalah carut marutnya politik, ekonomi, hukum, apalagi moral generasi negeri ini. Lalu, untuk siapa dan untuk apa agenda ini? Justru ini yang perlu kita kritisi dan waspadai. Jangan sampai justru latah mendukung agenda yang cenderung menebarkan kecurigaan kepada Islam, ajarannya, dan pemeluknya.


Penulis: Ryang Adisty Farahsita, M.A.

×
Berita Terbaru Update