Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Masalah Kekerasan Pada Perempuan Butuh Solusi Sistemik

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:50 WIB Last Updated 2024-12-18T03:50:08Z

Dok. Pribadi Ryang Adisty Farahsita, M.A. 

LorongKa.com - 
Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berbagai organisasi dan lembaga mengadakan kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

 

Kampanye semacam ini rutin digelar tiap tahunnya, namun kasus kekerasan pada perempuan seolah tak kunjung berakhir. Memang benar selain kampanye HAKTP ada pula upaya lain dari berbagai pihak untuk mengentaskan masalah kekerasan pada perempuan. Misalnya ada Rumah Aman Perempuan di berbagai wilayah, Puspaga (Pusat Pelayanan Keluarga) dan Simal Indonesia (Sekolah  Ibu dan Istri Milenial).

 

KEMENPPPA juga memiliki P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) sebagai upaya membantu berbagai masalah perempuan dan anak termasuk di dalamnya juga kasus kekerasan. Di DIY bahkan diluncurkan aplikasi Lapor Kekerasan yang bisa diakses di Jogja Smart Service (JSS). Masih banyak lagi upaya serupa untuk mengatasi masalah kekerasan pada perempuan.

 

Dengan berbagai macam upaya tersebut apakah masalah kekerasan pada perempuan berkurang atau bahkan hilang? Nyatanya tidak. Data kekerasan pada perempuan yang dihimpun oleh KEMENPPPA dari tahun 2018 hingga 2023 justru menunjukkan peningkatan. Tahun 2018 tercatat ada 18.141 kasus, sedangkan di tahun 2022 tercatat 25.050 kasus. Sementara di tahun 2023 meningkat menjadi 26.161 kasus. Data tahun 2023 ini jika digabungkan dengan data yang diterima oleh SintasPuan Komnas Perempuan dan Titian Perempuan FPL menyentuh hingga angka 34.682 kasus. Sungguh mencengangkan jumlah peningkatan kasusnya.

 

Bahkan untuk DIY, pada tanggal 12 Agustus 2024 lalu dalam siaran Pers-nya Komnas Perempuan menyebutkan bahwa data Simfoni Kemen PPPA mencatat di tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas tertinggi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 33 korban, sementara data FPL mencatat 120 korban dan Komnas Perempuan mencatat 38 kasus.

 

Data-data tersebut cukup menunjukkan bahwa berbagai bentuk kampanye HAKTP hingga program berbagai lembaga tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah kekerasan pada perempuan. Hal ini tidak lain karena keberadaan lembaga hingga program tadi berfokus pada penanganan akibat, bukan menghilangkan sebab. Ibarat orang yang hanya terus berupaya mengepel lantai basah karena genteng bocor saat hujan tanpa berupaya menutup sumber kebocorannya. Akibatnya, masalah tidak akan pernah selesai. Bahkan berpotensi menimbulkan semakin banyak masalah yang tentu menguras banyak energi.

 

Oleh karena itu, akar masalah dari kekerasan pada perempuan harus diselesaikan secara tuntas. Faktor utama yang menyebabkan kasus ini tidak kunjung selesai adalah karena lemahnya ketaqwaan pada individu sehingga tidak takut melakukan kejahatan, masyarakat yang cenderung abai terhadap sekitarnya, dan lemahnya aturan negara dalam mengontrol hal-hal yang dapat memicu kedua masalah tersebut.

 

Ketiga hal tadi tidak lain disebabkan oleh sistem sekuler liberal yang mau tidak mau harus diakui telah menjadi bagian dari sistem yang diterapkan saat ini. Agama terus menerus berupaya dijauhkan dari masyarakat dengan berbagai macam upaya seperti program deradikalisasi, moderasi beragama, hingga upaya monsterisasi terhadap ajaran Islam seperti jihad dan khilafah. Akibatnya, ketaqwaan individu semakin lemah yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kebutuhan terikat pada syariat.

 

Disisi lain, kebebasan semakin diagungkan sehingga perilaku yang melanggar norma dan agama makin berani dilakukan. Bahkan akhirnya justru masyarakat menjadi semakin segan menegur dan cenderung abai karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Prinsip indivialisme yang mementingkan urusan diri sendiri juga semakin melekat di tubuh masyarakat.

 

Negara yang memisahkan aturan agama dari kehidupan juga akhirnya mengabaikan aturan kehidupan dari Sang Khaliq yang berakibat timbulnya kerusakan di berbagai bidang kehidupan. Gagalnya negara mensejahterakan rakyat sehingga menyebabkan ekonomi sebagai trigger kekerasan adalah sebuah fakta yang tak terelakkan.

 

Kementerian PPPA menyatakan bahwa banyak kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Lebih jauh lagi, menurut artikel yang dilansir oleh tirto.id terkait penyebab KDRT, disebutkan bahwa Kementrian PPPA merilis data bahwa aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor KDRT dibandingkan dengan aspek pendidikan.

 

Hal ini dibuktikan kebanyakan KDRT dialami oleh wanita yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah. Wanita yang berasal dari rumah tangga kelompok 25 persen termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami KDRT dibanding kelompok 25 persen terkaya. Selain itu, perempuan dengan suami menganggur berisiko 1,36 kali lebih besar mengalami KDRT dibanding perempuan yang pasangannya bekerja. Ini dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan rumah tangga yang tergolong rendah, sehingga memicu pertengkaran dalam rumah tangga serta KDRT.

 

Selain itu sistem peradilan dan sanksi di Indonesia saat ini cenderung sangat lemah. Akibatnya sanksi yang dijatuhkan justru tidak menimbulkan rasa takut dan jera.

 

Berdasarkan hal-hal diatas, jelas bahwa problem kekerasan pada perempuan adalah masalah sistemik. Masalah sistemik tidak akan selesai dengan solusi yang bersifat parsial. Masalah sistemik membutuhkan solusi sistemik. Artinya, tidak cukup hanya dengan menangani akibat. Dibutuhkan sistem yang benar/shahih agar masalah kekerasan terhadap perempuan hilang mulai cabang hingga akarnya.

 

Untuk menghentikan kasus kekerasan pada perempuan tidak cukup hanya dengan membangun kesadaran, menampung dan mengedukasi korban maupun pelakunya. Butuh upaya menegakkan 3 pilar utama penerapan syariat Islam yang akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Ketiga pilar tersebut yaitu ketaqwaan individu, kontrol masyarakat, dan aturan negara adalah kunci dari masalah kekerasan pada perempuan dan KTD.

 

Di dalam sistem Islam, ketaqwaan individu dikondisikan dapat tertanam sejak dini dan berupaya terus dijaga sehingga tetap melekat pada masing-masing orang sepanjang hayatnya. Penanaman dan penjagaan ini dilakukan baik oleh keluarga, sekolah, masyarakat, hingga media yang diarahkan oleh negara. Hal ini akan membuat warga negara mengetahui apa hak dan kewajibannya dalam berinteraksi dengan orang lain. Baik dengan pasangan, anak orangtua, kerabat, tetangga, teman, hingga orang asing. Ketika ketaqwaan yang memimpin, seseorang tidak akan semena-mena melakukan kekerasan pada siapapun dalam bentuk apapun.

 

Pilar kedua yaitu kontrol masyarakat lahir dari ketaqwaan individu dan  penerapan aturan oleh negara. Dua hal tersebut akan membentuk masyarakat yang tidak abai terhadap kemaksiatan maupun kejahatan apapun yang terjadi di sekitarnya termasuk kasus kekerasan. Hal ini dikarenakan ada perintah dari Allah untuk melakukan amar makruf nahi munkar.

 

Perintah amar ma'ruf nahi munkar ini akan membuat masyarakat gelisah ketika ada perbuatan maksiat ataupun mendekati maksiat di sekitarnya. Kegelisahan yang tumbuh karena iman dan takwa ini juga akan mendorong masyarakat bertindak demi menghentikan aktivitas pemicu kemaksiatan tersebut. Suasana saling menolong dan mengajak terhadap kebaikan juga akan hidup di tengah masyarakat sebagai wujud keinginan memenuhi seruan Allah untuk beramar makruf.

 

Pilar kedua ini akan menyurutkan niat seseorang yang lemah ketaqwaan individunya hingga bermaksud melakukan kemaksiatan berupa melakukan kekerasan. Hal ini dikarenakan rasa segan, malu, dan takut "digeropyok" oleh masyarakat pasti akan terbentuk di tengah-tengah masyarakat yang tingkat kepedulian nya tinggi.

 

Pilar ketiga yaitu aturan negara adalah pilar terpenting yang juga turut membentuk pilar pertama dan kedua. Negara memiliki wewenang melarang dan menutup kanal-kanal yang menjadi celah masuknya pemikiran maupun tontonan yang menginspirasi perilaku mengarah pada kekerasan. Media difungsikan sebagai sarana edukasi dan opini yang membangun. Semua media cetak maupun digital harus tunduk pada aturan negara berkaitan dengan penyiaran.

 

Sistem sanksi juga ditegakkan dengan tegas sehingga pelaku maksiat jera dan masyarakat takut melakukan kemaksiatan yang sama. Untuk kasus kekerasan, pelakunya akan dikenakan sanksi hukuman jinayat. Jinayat adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.

 

Dengan hukuman yang tegas ini, pelaku akan jera dan masyarakat yang mengetahui akan merasa takut untuk melakukan kemaksiatan/kejahatan yang sama.

 

Sanksi hukum yang wajib diterapkan tersebut selain dijadikan sebagai tindakan pencegahan (zawajir) juga sebagai tindakan kuratif (jawabir). Zawajir akan menjaga masyarakat Islam dari sisi keamanan maupun survivalitasnya. Selain itu akan menghalangi para pengacau dan pembuat kerusakan. Jawabir yaitu membalas perbuatan dosa dan mencegah siksa akhirat.

 

Terkait perekonomian, Islam sebagai sistem kehidupan memiliki solusi sistemis dalam mengatasi masalah ekonomi. Menurut Dwi Condro, Ph.D., ada beberapa pengaturan yang akan menciptakan situasi anti krisis di dalam sistem Islam diantaranya;

 

Pertama, pembagian kepemilikan secara benar. Pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam itu ada tiga, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Pembagian ini sangat penting agar tidak terjadi dominasi ekonomi, yakni hegemoni pihak yang kuat menindas yang lemah. Dominasi itu terjadi karena penguasaan sektor kepemilikan umum yang tidak semestinya dimiliki perseorangan atau perusahaan swasta.

 

Semisal, penguasaan individu atau swasta atas barang tambang, gas, minyak bumi, kehutanan, sumber daya air, jalan umum, pelabuhan, bandara, dan sebagainya yang menjadikan ekonomi mereka semakin kuat, meluas, hingga mendominasi kekayaan.

 

Kedua, pengaturan pembangunan dan pengembangan ekonomi yang benar, yaitu bertumpu pada pembangunan sektor ekonomi riil, bukan nonriil. Dengan begitu, krisis ekonomi tidak akan terulang lagi.

 

Ketiga, distribusi harta kekayaan oleh individu,  masyarakat, dan negara. Sistem ekonomi Islam akan menjamin bahwa seluruh rakyat Indonesia akan terpenuhi semua kebutuhan asasinya (primer). Sistem ekonomi Islam juga menjamin bagi seluruh rakyatnya untuk dapat meraih pemenuhan kebutuhan sekunder maupun tersiernya.

 

Itulah gambaran global sistem Islam sangat tahan dengan krisis. Selain itu, sistem ekonomi Islam juga ditopang dengan mata uang emas dan perak yang telah terbukti stabil dan anti inflasi.

 

Perputaran harta di dalam sistem Islam juga tidak akan beredar di kalangan orang kaya saja. Sebab, ada kewajiban mengeluarkan zakat bagi harta yang dimilikinya sesuai ketentuan syariat. Sistem Islam akan mengoptimalkan segala potensi sumber daya alam di negeri-negeri Islam untuk menghidupi rakyatnya.

 

Dengan pengaturan ekonomi yang demikian, insya Allah masalah ekonomi sebagai salah satu trigger terjadinya KDRT akan dapat diminimalisir hingga dihilangkan.

 

Inilah ketiga pilar yang akan membabat habis akar masalah kekerasan perempuan. Ketiga pilar diatas hanya akan tegak sempurna ketika Islam Kaffah diterapkan dalam sistem sebuah negara. Wallahu a'lam bi ashawab.


Penulis: Ryang Adisty Farahsita, M.A. 

×
Berita Terbaru Update