Farah Adibah, Mahasiswi dan Aktivis Muslimah
LorongKa.com - Ketika layar ponsel menjadi pintu gerbang kegelapan, dunia maya yang seharusnya menjadi tempat pengetahuan dan hiburan, kini menjadi arena di mana anak-anak menjadi korban eksploitasi yang tak terbayangkan.
Pernyataan ini bukanlah sekadar alarm kosong, melainkan kenyataan yang semakin sulit dibendung. Salah satunya adalah eksploitasi seksual anak yang semakin marak. Baru-baru ini, Bareskrim Polri berhasil membongkar praktik penjualan konten pornografi anak yang beredar luas dengan modus yang semakin canggih. Sebanyak 58 tersangka pun berhasil ditangkap dalam operasi besar-besaran yang mengungkap betapa terorganisirnya sindikat ini. Dengan begitu mudahnya akses dan distribusi konten terlarang, dunia digital kini menjadi ladang subur bagi para predator anak (Sindonews.com, 13/11/24).
Lebih dari sekadar menjadi korban eksploitasi, anak-anak kini juga semakin banyak yang terjebak dalam gelombang kejahatan itu sendiri, dengan mengakses konten pornografi melalui perangkat digital mereka. Tanpa pengawasan yang ketat, mereka yang seharusnya berada di bawah perlindungan justru menjadi konsumen pertama dari konten-konten berbahaya ini, yang merusak nilai moral mereka sejak dini. Ini adalah kenyataan pahit yang semakin mengaburkan garis antara korban dan pelaku dalam ekosistem digital yang penuh ancaman.
Maraknya pornografi, baik sebagai korban maupun sebagai pengakses, adalah akibat dari runtuhnya beberapa pondasi penting dalam kehidupan sosial dan pendidikan kita. Pertama, dunia digital yang tidak lagi terkontrol dengan ketat memberikan akses yang terlalu mudah bagi anak-anak untuk mengakses konten terlarang. Media sosial dan aplikasi komunikasi, kini bukan hanya menjadi tempat interaksi sosial, tetapi juga ladang subur bagi penyebaran pornografi. Bahkan lebih parah lagi, anak-anak menjadi objek eksploitasi dengan foto dan video mereka diperjualbelikan dalam transaksi yang melibatkan ribuan anak.
Kedua, masalah ini semakin diperburuk oleh lemahnya sistem pendidikan yang lebih menekankan pada nilai materialistik ketimbang pembentukan karakter moral yang kuat. Pendidikan yang seharusnya menjadi benteng bagi generasi muda dalam menghadapi godaan dunia digital, malah cenderung tidak memberikan bekal yang cukup untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk tersebut. Generasi muda yang permisif, yang tumbuh dalam budaya yang sering mengabaikan norma, justru merasa bebas untuk mengakses dan bahkan terlibat dalam pornografi, tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Penyebab maraknya pornografi anak hari ini juga tak bisa dilepaskan dari lingkungan yang semakin tidak ideal bagi perkembangan mereka. Walaupun orang tua berusaha keras memberikan proteksi, gaya hidup yang mendewa-dewakan kebebasan dan syahwat tetap mengelilingi mereka. Fenomena ini bukan hanya soal kecanggihan teknologi, tetapi juga akibat dari sistem sekuler yang menjunjung kebebasan tanpa batas, di mana segala nilai hidup diukur berdasarkan kepentingan duniawi yang sementara.
Sekularisme yang mengedepankan kebebasan individu sebagai nilai utama, tanpa dasar ketuhanan yang kuat, telah mengikis kontrol moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah sistem yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan, termasuk eksploitasi seksual anak, bisnis pornografi dan konten amoral pun berkembang. Kebebasan yang dijamin negara seharusnya mendukung kehidupan yang lebih bermoral, namun justru menciptakan sistem yang melemahkan peran negara sebagai pelindung. Akibatnya, hukum yang ada tidak mampu mencegah peredaran pornografi atau memberikan efek jera yang cukup bagi para pelaku.
Di sisi lain, meskipun negara menjamin kebebasan, pendidikan dan pembentukan karakter yang seharusnya menjadi benteng bagi anak-anak, justru terhambat oleh sistem yang lebih fokus pada pencapaian materi dan kebebasan tanpa tanggung jawab. Pada akhirnya, hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan aman tetap terabaikan.
Solusi untuk mengatasi maraknya pornografi anak tidak bisa hanya bersifat reaktif, tetapi harus menanggulangi masalah ini hingga ke akar-akarnya. Dalam Islam, terdapat pendekatan holistik yang mampu melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi, termasuk pornografi.
Pertama, penegakan hukum yang tegas terhadap semua pelaku kejahatan pornografi anak adalah langkah awal yang tidak bisa ditawar. Hukum harus berpihak pada perlindungan anak, dengan memberikan sanksi yang berat terhadap mereka yang merusak masa depan generasi muda. Kedua, pendidikan yang bermutu adalah kunci utama. Sistem pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islam mampu membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam moral dan etika. Dengan pendidikan Islam yang berlandaskan prinsip halal dan haram, anak-anak akan memiliki pandangan yang jelas tentang batasan-batasan yang harus dijaga dalam hidup mereka. Ketiga, negara harus memiliki kemauan politik untuk menerapkan kebijakan yang berbasis pada syariat Islam. Ini bukan hanya tentang mengatur peredaran pornografi, tetapi juga melarang bisnis haram yang mengeksploitasi anak-anak. Kebijakan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam akan memberikan perlindungan yang nyata bagi generasi mendatang.
Solusi tersebut, yang menyatukan ketegasan hukum, pendidikan yang berbasis moralitas, dan kebijakan politik yang berbasis pada syariat, adalah cara yang paling efektif untuk melindungi anak-anak kita dari bahaya pornografi. Ketika negara berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai ini, anak-anak akan tumbuh dalam masyarakat yang aman dan terlindungi, jauh dari bahaya yang mengancam masa depan mereka. Wallahu A’lam
Penulis: Farah Adibah