OPINI, Lorongka.com- Saya lahir dan besar di keluarga yang sangat sederhana, lahir dengan tanggal dan tahun yang unik. Andai bisa, semua orang memilih lahir dengan kode unik di kalender, namun sayangnya kelahiran sama seperti kematian, tak bisa diterka.
Kelahiran bagiku adalah anugerha, rezeki dan berkah bagi keluargaku, dan yang paling spesial, saya lahir di tanggal cantik yakni, tanggal 03 bulan 03 tahun 1983. Angka yang ganjil dan seksi bagi kebanyakan orang.
Saat lahir, Ibu ingin memberiku bama terbaik di antar sekian banyak nama, tetapi nama tanpa makna adalah kesia-siaan. Sebab itulah ibuku memberikan nama Musfira yang berarti wajah berseri-seri dalam bahasa arab.
Terlahir ke dunia memang sangat menyenangkan, sekaligus menjadi tantangan. Apalagi saya lahir dengan enam (6) bersaudara. Saya anak ke-empat (4).
Dalam keluarga kecil, kami dibesarkan dari tangan besi seorang ibu, hidup dan tumbuh dari besarnya doa dan kuatnya harapan, tanpa seorang bapak.
Seiring berjalannya waktu, saya masuk sekolah dasar, tapi ibuku memilih menyekolahkan saya di MI (Madrasah Ibtidaiyah). Menurutnya, lewat sekolah berbasis agama kita bisa lebih religius, tapi ekspektasi ibu jauh dari itu, saya dikenal di sekolah sebagai anak yang paling bandel, suka bolos, jail sama teman-taman, bahkan para guru tidak sanggup mengahadapiku.
Akhirnya pada tahun 1996 saya tatp lulus, dan ibuku lagi-lagi mendaftarkan saya ke Madrasah (MTSN Lappa) agar perilaku bisa diperbaiki. Mula-mula saya memberontak dan melawan karena keinginkan saya sekolah di SMP Negeri yang ada di pusat kabupaten. Tapi, saya juga tidak mampu melawan kehendak ibu, mau tidak mau saya harus menuruti.
Hari demi-hari saya lewati di sekolah itu, tapi kelakuanku tidak berubah makin bandel. Aakhirnya saya berhenti di catur wulan kedua, dan merasa tidak cocok sekolah.
Waktu membawaku tumbuh dengan karakter dan penampilan yang berbeda dengan anak perempuan lain pada umumnya. Saya lebih suka berpenampilan laki-laki dan bergaul dengan mereka.
Saya cukup percaya diri dengan penampilanku, pada waktu itu saya cukup aktif, sedikit anarkis tapi banyak kreatifitas, hal itulah diperhatikan oleh tante.
Tante diam-diam mengamati perilaku keseharianku. Namanya tante Badriah, beliau akhirnya mengajak saya membantunya mendirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang bernama Cahaya Kalbu, saya langsung menerimanya tanpa penolakan. Karena pada saat itu saya berpikir bahwa pendidikan sangatlah penting, walaupun saya hanya seorang lulusan SD.
Walau demikian, saya tidak mau anak-anak yang lain seperti saya, putus sekolah dan menjadi buah bibir tetangga karena dianggap kehilangan masa depan.
Lalu akhirnya, kami bahu-membahu mencari anak didik dan akhirnya saya sempat membantunya jadi guru walau hanya mengajarkan bernyanyi, dalam kegiatan PAUD itu ada juga posyandu dan saya juga jadi kader, melayani ibu hamil, bayi dan balita, yang setiap bulannya diakan pemeriksaan kesehatan bagi meraka, garda terdepan dalam kesehatan dalam satu lingkungan adalah kader Posyandu.
Saya sangat senang dengan hal itu, tiba suatu hari saya sudah tidak ingin melanjutkan lagi untuk jadi guru PAUD, kemudian saya mengundurkan dari.
Sementara posisi sebagai kader posyandu tetap saya lakoni, sampai 7 tahun saya geluti dengan insentif Rp25.000 (Dua puluh lima ribu rupiah) per bulan, tapi saya ikhlas karena memang tujuanku adalah untuk mendedikasikankan hidup saya membantu masyarakat.
Selain itu, saya ingin mengisahkan perjalanan singkat yang merubah arah hidup saya sembilan puluh derajat, saat hari di mana saya mendapatkan telepon dari seseorang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya.
Pada saat itu saya lagi di luar daerah, tepatnya di Makassar, dan seseorang mengajak saya bergabung di organisasinya yang bernama (Kopel) Komite Pemantau Legislatif Indonesia.
Saya heran dan bertanya, “Kenapa memiliha saya?” tanyaku.
Beliau menjawab, “Karena anda orang pilhan makanya saya pilih” jawabnya.
Orang itu bernama Musaddaq dan kami panggil Kak Dadang, di situlah titik balik kehidupan saya, bergabung dengan orang-orang memiliki ilmu tinggi di Kopel.
Bergelut dalam lembaga tersebut, membuat saya jadi bisa berkomunikasi langsung dengan anggota dewan, saya dan kawan-kawan lainnya belajar dan terus belajar dan sampai saya ditugaskan langsung turun mamantau cara kerja dan mengenal mereka para anggota DPRD.
Salah yang saya kenal di awal adalah Hj. Andi Kartini Ottong yang pada saat itu menjabat sebagai wakil ketua DPRD kabupaten Sinjai.
Segala sesuatu tentang kepentingan rakyat beliau sangat mensupport kami. Di situ awal keakraban terjadi di antara kami layaknya seperti saudara, beliau sangat baik dan merakyat, memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Akibatny, saya sangat terinspirasi dan ingin sekali seperti beliau menjadi politikus perempuan, tapi saya harus apa hanya lulusan SD. Ijazah dasar sekali sehingga mustahil bisa seperti beliau, tapi ada tekat yang kuat dalam diriku untuk membuktikan mimpi-mimpi tersebut.
Saya mulai mendaftarkan diri di BKM untuk mengambil paket yang ijazah setara dengan ijazah SMP dan SMA, enam tahun saya menantikan itu akhirnya terlaksana.
Kemudian saya ditawari di beberapa partai dan akhirnya saya berlabuh di Kepala Banteng (PDI Perjuangan) yang diketuai Muh. Takdir, dan memberanikan diri untuk bertarung dalam Pileg (Pemilihan Legislatif) namun tidak terpilih. Namun, hal itu tidak sedikitpun menyurutkan semangatku untuk tetap berbuat demi kepentingan masayarakat.
Lagian lingkungan saya penuh inspirasi, seperti Hj. Andi Kartini Ottong, selalu memberikan wejangan positif ke saya dengan petuah-petuah beliau seolah menyihir saya untuk menolak tunduk pada aliran sungai kehidupan yang kian mencekam.
Selama saya kenal beliu dari Wakil Ketua DPRD sampai jadi Wakil Bupati Sinjai beliau tidak pernah berubah. Keakraban kami sampai puluhan tahun, terjalin hangat dan penuh inspirasi.
Beliau selalu mengsupport saya, tanpa peduli perkataan orang lain, walau bangak yang mengatakan hal negatif tentang saya padanya, bahkan ada juga yang pernah mengatakan sama beliau bahwa apa tidak malu kalau Musfira ikut di kelompoknya, sementara penampilnnya berbeda. Beliau hanya menjawab, jika mau merubah seseorang jangan jauhi.
Saya mulai kenal keluarga belau anaknya, saudaranya. Meraka sangat baik, bahkan saya dianggap keluarga, dan selalu menasehati saya, yang dulunya pembangkan, baperan.
Tapi ibu Hj. Andi Kartini Ottong tidak pernah permasalahankan itu. Saya selalu ikut beliau di beberapa acara yang mengundang beliau dan beberapa organisasi beliau dirikan, saya masuk jadi anggota, dan saya ketemu sama almarhum Andi Yusran salah satu keponakan beliau yang begitu baik ke semua orang, demikian baiknya ke saya.
Dulunya juga saya tidak pernah mengenakan hijab, karena saya merasa santai saja seperti layaknya lelaki. Namun kenyataan merubah hidupku. Saya hijrah karena lingkungan terus menginspirasi.
Hijrah saya bermula dari almarhum Andi yusran dan ibu Hasriana, pada suatu malam, kami bertiga bencang-bincang di cafe Lampu Badai, di pusat kota.
Beliau memberikan pemahaman mendalam ke saya tetang aurat dan kewajiban berhijab, meraka berdua menyakinkan saya, bahwa hijab itu wajib sebagai seorang perempuan muslim.
Mendengar perkataan mereka, hati saya bergetar, dari situlah saya berjanji akan mengenakan hijab di hari ulang tahunku.
Alhamdulillah tepat pada tanggal 03 Maret 2020 saya mengenakan hijab dan itu adalah momen paling bersejarah dalam hidupku.
Walau pun banyak yang meragukan tapi Alhamdulillah sampai sekarang, saya masih berhijab. Karena menurut saya kita tidak boleh takut untuk berubah, karena perubahan itu keharusan.