Uzwatun Khasanah
LorongKa.com - Fenomena krisis kehidupan di usia muda, atau yang sering disebut quarter-life crisis, semakin marak terjadi di kalangan Gen Z. Mereka yang seharusnya sedang berada di puncak produktivitas dan eksplorasi diri justru dihadapkan pada tekanan hidup yang luar biasa, baik secara finansial maupun emosional.
Tekanan ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup mereka, tetapi juga menciptakan generasi yang merasa kehilangan arah di tengah tuntutan kehidupan modern. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi hingga Gen Z terjebak dalam lingkaran krisis ini?
Salah satu faktor utama yang memicu krisis ini adalah tekanan finansial yang luar biasa. Biaya hidup yang melonjak drastis, kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, serta ketidakstabilan ekonomi global menjadi momok yang menghantui Gen Z.
Mereka tumbuh dalam sistem kapitalisme yang menuntut produktivitas tanpa henti, namun sering kali tidak memberikan jaminan kesejahteraan yang adil. Sistem ini memperlihatkan ketimpangan yang nyata: kekayaan terpusat di tangan segelintir orang, sementara mayoritas berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Akibatnya, banyak dari mereka merasa terjebak dalam siklus kerja keras tanpa hasil yang sepadan, memicu rasa frustasi dan putus asa.
Tidak hanya dari sisi ekonomi, Gen Z juga menghadapi tantangan besar dalam hal kesehatan mental. Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya di kalangan anak muda.
Lingkungan sosial yang serba instan, tekanan untuk tampil sempurna di media sosial, serta minimnya dukungan emosional membuat mereka rentan terhadap stres berkepanjangan.
Sistem yang rusak ini tidak hanya gagal memenuhi kebutuhan material mereka, tetapi juga mengabaikan kesejahteraan psikologis yang seharusnya menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Lebih jauh lagi, tekanan finansial dan mental ini berdampak langsung pada kinerja Gen Z di dunia kerja. Banyak yang dicap sebagai generasi yang lemah dan mudah menyerah, padahal kenyataannya mereka dipaksa bertahan dalam sistem yang tidak berpihak kepada mereka.
Beban kerja yang berlebihan, ketidakpastian karier, dan minimnya kesempatan untuk berkembang membuat mereka sulit menunjukkan potensi terbaiknya. Mereka bukanlah generasi yang malas, tetapi generasi yang kelelahan menghadapi realitas yang tidak adil.
Solusi dari masalah ini tidak bisa hanya sebatas motivasi individual . Gen Z perlu disadarkan bahwa akar masalah dari krisis yang mereka hadapi adalah penerapan aturan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Ilahi.
Sistem kapitalisme yang materialistik telah merusak tatanan sosial dan ekonomi, membuat manusia terjebak dalam pola hidup yang mengejar dunia semata. Hanya dengan kembali kepada aturan Allah secara kaffah, kita bisa membangun sistem yang adil, seimbang, dan memanusiakan manusia.
Kesadaran ini harus mendorong Gen Z untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memahami pentingnya peran mereka dalam perubahan. Keimanan yang kuat menjadi fondasi utama untuk menghadapi tantangan hidup.
Dengan iman, mereka akan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian materi, tetapi juga tentang kontribusi untuk kebaikan umat dan dunia. Keimanan ini pula yang akan memberikan ketenangan hati di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan.
Akhirnya, Gen Z perlu memahami bahwa mereka buah korban pasif dari sistem yang rusak. Dengan kesadaran akan realita dan akar masalah yang ada, serta keimanan yang menjadi pegangan, mereka bisa menjadi agen perubahan yang membawa harapan baru bagi masa depan.
Ini bukan sekadar tentang bertahan hidup, tetapi pemahaman mengenai pentingnya generasi muda melek politik agar dapat memimpin umat menuju perubahan hakiki sesuai tuntunan Nabi,Mengambil peluang menjadi pejuang kemuliaan Islam.
Penulis: Uzwatun Khasanah.