Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Pajak dalam Islam VS Kapitalisme, Mana yang Lebih Adil bagi Rakyat?

Kamis, 06 Februari 2025 | 14:34 WIB Last Updated 2025-02-06T06:34:08Z

Nayla Aulia Safira (Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)

LorongKa.com - 
“Tapi menurut saya, ya rakyat sekarang banyak yang menjerit”, demikian ungkapan Mahfud Md mantan Menkopolhukam ini di Kantor MMD Initiative, Jakarta Pusat pada Jumat, 20 Desember 2024, (tempo.co, 20/12/2024). Pernyataan ini menunjukkan bahwa banyak orang merasa terbebani atau kesulitan akibat kebijakan ini. Dan pernyataan ini menggambarkan kekhawatiran tentang kemungkinan efek negatif dari kebijakan pajak baru terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, serta perlunya perhatian lebih dari pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat.


Pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi PPN 12 Persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini tidak berlaku untuk seluruh barang dan jasa, melainkan difokuskan pada produk yang dikategorikan sebagai barang mewah (tempo.co, 20/12/2024).


Kenaikan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan akan difokuskan hanya pada barang dan jasa yang dikategorikan sebagai barang mewah. Dengan demikian, kebijakan ini tidak akan mempengaruhi seluruh jenis barang dan jasa yang biasanya dikonsumsi masyarakat umum.


Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sejumlah barang dan jasa tidak akan terkena kebijakan PPN ini. Di antaranya untuk sektor barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga transportasi. Dia bilang pengecualian itu sebagai bentuk proteksi untuk masyarakat (cnbcindonesia.com, 20/08/2024).


Kebijakan ini diambil sebagai bentuk proteksi untuk masyarakat agar tidak terbebani oleh pajak pada barang dan jasa yang esensial bagi kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dan memastikan aksesibilitas terhadap kebutuhan dasar.


Dalam sistem kapitalisme, pajak berfungsi sebagai salah satu mekanisme bagi pemerintah untuk mengatur distribusi kekayaan, di samping berperan sebagai sumber pendapatan negara. Tarif pajak yang lebih tinggi dikenakan pada individu dengan pendapatan lebih tinggi, sementara tarif yang lebih rendah diterapkan bagi mereka yang memiliki pendapatan lebih rendah.


Selain itu, pajak dianggap sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengendalikan inflasi. Contohnya, tarif pajak dapat diturunkan saat pendapatan masyarakat menurun. Sebaliknya, tarif pajak dapat dinaikkan untuk menekan inflasi ketika pertumbuhan ekonomi meningkat. Namun, penerapan fleksibilitas tarif pajak ini sering kali sulit dilakukan karena perubahan dalam tingkat pajak memerlukan kesepakatan politik yang kompleks.


Pajak Menyengsarakan Masyarakat dalam Sistem Kapitalisme Menurut Pandangan Islam


Dalam pandangan Islam, pajak dalam sistem kapitalisme dianggap menyengsarakan rakyat karena sifatnya yang permanen dan membebani seluruh warga negara tanpa kecuali. Kebijakan pajak yang diterapkan sering kali tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat, sehingga menambah beban hidup mereka, terutama bagi kalangan yang kurang mampu. Dalam sistem kapitalisme, pajak dikenakan pada berbagai barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok, yang berpotensi menyebabkan kezaliman terhadap rakyat. Berbeda dengan itu, dalam Islam, pajak hanya diterapkan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara, serta hanya dikenakan kepada individu yang memiliki kelebihan harta. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat, di mana pajak tidak menjadi sumber utama pendapatan negara, tetapi digunakan untuk menutupi kekurangan saat baitulmal tidak mencukupi. Dengan demikian, penerapan pajak dalam sistem kapitalisme dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan dalam Islam, yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan tidak membebani mereka secara berlebihan.


Khilafah Membiayai Negara Bukan dengan Pajak dan Utang


Pengelolaan negara dan pengurusan rakyat oleh negara atas tanggung jawab negara sebagai ra’in (pengurus) rakyat. Tanggung jawab ini tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, negara ditopang oleh prinsip-prinsip ekonomi Islam yang juga mencakup pembahasan mengenai sumber-sumber pendapatan rakyat.


Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menitikberatkan sumber pendapatannya pada pajak dan utang, sumber pendapatan negara Islam (Khilafah) sungguh memiliki karakteristik yang berbeda. Sumber pendapatan Khilafah tidak bergantung pada sektor pajak.


Sumber-sumber utama penerimaan Khilafah di baitulmal seluruhnya diatur oleh syariat Islam. Terdapat tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat. Khusus zakat harus terpisah dari harta lainnya. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan, dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai, dan usyur.


Namun, bagaimana jika baitulmal mengalami defisit anggaran? Jika kas baitulmal tidak mencukupi atau bahkan kosong, maka saat itulah kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim baik dalam bentuk pajak ataupun pinjaman. Oleh karena itu, penerapan pajak dalam Islam bersifat sementara, dan bukan sebagai pemasukan tetap sebagaimana dalam sistem kapitalisme.


Pungutan pajak itu pun terbatas hanya pada mereka yang kaya dari kaum laki-laki saja. Orang kaya dalam hal ini adalah mereka yang memiliki kelebihan atas kebutuhan pokok dan sekundernya. Pajak yang terkumpul itu digunakan untuk pembiayaan jihad, industri militer, dan penunjangnya; pemberian bantuan kepada kaum fakir, miskin, dan ibnu sabil; pembiayaan gaji para pegawai, seperti tentara, pegawai, hakim dan guru; pembiayaan untuk kemaslahatan yang sangat mendesak dan akan mengakibatkan bahaya bagi umat jika terabaikan; pembiayaan untuk bencana, seperti gempa bumi, tanah longsor, dan banjir.


Dengan demikian, pajak dalam Khilafah tidak dipungut dari setiap individu rakyat. Ini tentu berbeda dengan kondisi hari ini ketika seluruh rakyat menjadi wajib pajak tanpa kecuali.


Adapun terkait utang, Islam memandang bahwa memberi pinjaman merupakan bagian dari aktivitas saling tolong-menolong (ta’awwun). Dalam hal ini, Islam mensyariatkan bahwa dalam aktivitas ini tidak ada tambahan berupa bunga atau tambahan lainnya dalam transaksi utang.


Saat utang menjadi solusi dalam menyelamatkan perekonomian negara, syariat mengenai utang ini tidak boleh dilanggar. Artinya, negara boleh saja berutang jika kas baitulmal kosong dan kaum Muslim pun tidak mampu mengumpulkan dana tabaruat. Namun, negara tidak boleh tunduk pada tawaran utang bersyarat yang menyalahi syariat. Dengan kata lain, Khilafah tidak akan membiarkan negara lain untuk mengambil alih kedaulatan negara melalui utang.


Khatimah


Dua realitas yang terlihat dari sistem kapitalisme dan konsep Islam menunjukkan perbedaan yang jelas antara keduanya. Dalam Islam, penguasa memiliki tanggung jawab untuk mengurus rakyat dengan memaksimalkan pendapatan dari sumber-sumber kepemilikan umum dan negara. Sementara itu, dalam sistem kapitalisme, negara tampak seperti berbisnis dengan rakyatnya, di mana masyarakat harus menanggung pajak dan utang negara dengan alasan pembangunan. Oleh karena itu, hanya Khilafah beserta penerapan syariat secara kaffah yang dapat menciptakan kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi rakyat. Kewajiban untuk memperjuangkan penegakan Khilafah ini menjadi tanggung jawab seluruh umat Muslim. Rasulullah SAW telah memberitakan kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah pada akhir zaman. Dalam sabdanya, “Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). 


Dengan demikian, pilihan ada di tangan kita, apakah kita ingin memilih kapitalisme yang menyengsarakan atau Islam yang menyejahterakan. Wallahualam bissawab.


Penulis: Nayla Aulia Safira

×
Berita Terbaru Update