Ryang Adisty Farahsita, M.A. Pegiat Opini, Aktivis Muslimah Sleman Yogyakarta
LorongKa.com - Di negeri ini, demokrasi masih kerap diusung sebagai jalan keluar atas berbagai polemik yang terjadi. Tidak hanya dalam aksi #IndonesiaGelap saat ini, aksi-aksi sebelumnya turut menyerukan hal senada.
Masih segar di ingatan kita, aksi yang menandai kebangkitan kalangan intelektual termasuk mahasiswa tahun 2024 lalu saat menanggapi pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh mantan Presiden RI Joko Widodo juga menyerukan mengembalikan kedaulatan rakyat yang merupakan ruh dari demokrasi.
Hal tersebut terjadi karena adanya pemikiran bahwa akar masalah negeri ini ialah karena cacatnya praktik demokrasi. Maka ketika masalah terjadi, pembahasan yang terjadi memiliki kecenderungan menyalahkan bahwa ada oknum yang gagal menjalankan demokrasi sesuai pakemnya. Seolah, prinsip dasarnya ialah demokrasi tidak pernah keliru, oknum pelaksananya saja yang bengkok.
Menariknya, yang disebut sebagai oknum subyek pelaksana telah berganti berulang kali. Namun masalah terus saja silih berganti bahkan semakin parah dari masa ke masa. Jika demikian, bukankah perlu dipertanyakan ulang narasi bahwa "demokrasi itu tak pernah keliru"? Benarkah bahwa demokrasi itu tak memiliki cacat substansi?
Untuk menakar baik buruk suatu hal, tentu harus memakai sebuah perspektif. Sebagai muslim, tentu takaran mutlak yang harus dipakai adalah perspektif aqidah atau keimanan. "Baik" dalam perspektif Islam tentu artinya tidak ada pertentangan dengan syariat Islam. Begitupun sebaliknya, hal yang bertentangan dengan syariat Islam dinilai "buruk" dan harus ditinggalkan.
Demokrasi adalah sistem politik yang lahir dalam peradaban Barat yang saat itu belum tersentuh cahaya Islam. Trigger kemunculannya adalah sebagai solusi atas penolakan terhadap tirani kekuasaan atau kekuasaan yang otoriter.
Tercatat pula dalam sejarah, pertumbuhan pesat demokrasi adalah ketika ia dipakai sebagai antitesa dari kegagalan teokrasi. Dimana saat itu Eropa dihantui perampasan hak rakyat oleh elit penguasa yang bersekongkol dengan gereja. Hasilnya, diadopsi sebuah pemahaman bahwa aturan agama hanya boleh dipakai di ruang individu bukan ruang publik apalagi politik. Sederhananya agama tidak boleh mencampuri urusan manusia.
Dalam implementasinya, demokrasi identik dengan prinsip pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Sistem demokrasi lahir dari pemikiran manusia, tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu.
Kedaulatan rakyat dimaknai bahwa manusia diberikan ruang membuat hukum secara mutlak untuk dirinya sekalipun hukum itu bertentangan dengan hukum Allah.
Bagaimana mungkin seorang muslim yang beriman justru mengambil, merawat, memperjuangkan, dan mengambil sistem ini sebagai solusi? Bukankah Allah telah berfirman:
"Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata." [TQS. Al Ahzab (33):36]
Lantas sebagai muslim yang menginginkan keselamatan dunia akhirat, masihkah demokrasi pantas dikatakan baik dan layak dijadikan solusi?
Apalagi secara fakta akhirnya justru demokrasi menjadi jalan masuknya kerusakan demi kerusakan. Masalah pagar laut yang merampas ruang hidup keluarga nelayan demi kepentingan segelintir orang, lahir dari demokrasi yang memberi celah manusia membuat aturan kehidupan. UU Minerba dan revisi UU Agraria yang sarat dengan masalah dan menjadi tuntutan dalam aksi #IndonesiaGelap saat ini juga lahir dari tangan-tangan manusia yang dilegitimasi oleh demokrasi.
Fakta lain, UU Penanaman Modal Asing (PMA) bahkan memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia hingga 95 tahun lamanya, dengan kemungkinan dapat diperpanjang.
Bahkan, ada UU lain yang dibidani oleh sistem demokrasi yang justru menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia seperti UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Semua UU tersebut menguntungkan segelintir golongan namun merugikan masyarakat Indonesia sebagai pemilik SDA.
Demokrasi-lah yang justru memberikan peluang terjadinya kegelapan, sengkarut, kegaduhan, dan kerusakan yang diresahkan saat ini. Lantas, masih pantaskah berharap pada demokrasi untuk menuju masa depan bangsa yang cerah dan terang?
Penulis: Ryang Adisty Farahsita