Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Membangun Negara Tanpa Pajak dengan APBN Syariah

Minggu, 20 April 2025 | 10:21 WIB Last Updated 2025-04-20T02:22:22Z

M. Kumaladewi

LorongKa.com - 
Semua negara di dunia modern sekarang ini pasti melakukan pembangunan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakatnya. Sejahtera ketika manusia terpenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Adil ketika pembagian sarana pemuas kebutuhan (sumberdaya) bisa merata kepada seluruh umat manusia. 


Program pembangunan ini dibuatkan regulasinya oleh negara dan dibiayai dari pendapatan negara. Saat ini pajak merupakan sumber utama pendapatan negara selain utang. Padahal sangat jelas bahwa pembangunan yang bertumpu pada pajak sebagai pendapatan favorit adalah implementasi dari paradigma sistem ekonomi kapitalisme.


APBN Berdasarkan Syariah Islam


Dalam paradigma Islam, penguasa adalah pelayan/pengurus rakyat. Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Politik dalam Islam adalah ri’âyah syu’ûn al-ummah (mengelola urusan umat). Pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab melayani semua kebutuhan dasar umat (sandang, pangan dan papan) maupun kebutuhan umat yang sifatnya kolektif (pendidikan, kesehatan dan keamanan (An-Nabhani, 2004).


APBN dalam Islam adalah hukum syariah tentang pendapatan dan pengeluaran harta negara yang ada di Baitul Mal. Sifat hukum syariah dalam hal ini adalah qath’i sehingga secara mutlak tidak membutuhkan pendapat lain untuk masing-masing pos yang ada. APBN Islam telah menetapkan pos-pos pendapatan dan pos-pos pengeluarannya.


APBN Islam tidak dibuat secara periodik tahunan sebagaimana APBN di negara Demokrasi Kapitalisme sehingga tidak mengenal defisit anggaran. APBN Islam tidak memerlukan persetujuan DPR (meskipun Majlis Umat bisa memberikan masukan). Khalifah (Kepala Negara) bisa menyusun APBN dengan dibantu oleh jajaran pejabat yang ada.


Dalam proses penyusunan APBN Islam, yang dihitung terlebih dahulu adalah pos pengeluaran kemudian pos pendapatan. Pengeluaran dihitung berdasarkan asumsi kebutuhan paling vital dan urgen, yaitu kebutuhan dasar (al-hajaat adh-dharuri), baru pengeluaran sekundernya. Negara menggunakan rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta rata-rata harga pasar saat ini. 


APBN Islam tidak mengacu pada asumsi dolar dan tingkat inflasi sebagai patokan sehingga tidak mengenal perubahan inflasi sehingga APBN direvisi (APBN Perubahan). Pengeluaran dalam APBN Islam tidak bersifat fixed seperti APBN konvensional yang berkonsekuensi anggaran harus habis terserap.


Alokasi APBN Islam dari masing-masing pos pendapatan dan pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika ditengah jalan ternyata penerimaannya kurang, dengan mudah Khalifah akan menggenjot penerimaan tersebut. Begitu juga dengan pengeluarannya. Jika alokasi yang dianggarkan berlebih, kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tapi bisa dikembalikan ke Pemerintah pusat atau ditahan di daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.


APBN Islam bersifat sentralisasi, artinya dana dari seluruh wilayah ditarik ke Pusat, lalu didistribusikan lembali ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya. 


Secara teknis jumlah kebutuhan negara bisa diperhitungkan dengan matang oleh Khalifah dengan dibantu oleh para aparatunya. Program negara yang sifatnya tidak mendesak bisa ditangguhkan untuk melakukan efisiensi. Bahkan produksi SDA bisa dilakukan sesuai jumlah kebutuhan hajat hidup masyarakat, bukan semata-mata untuk kerakusan pemegang kepentingan, sehingga menjadi bisnis.


Negara wajib memangkas pengeluaran yang tidak penting, seperti kunjungan (untuk kesenangan), apalagi menginap di hotel berbintang. Prinsip efisiensi harus dilihat dari kacamata efektivitas teknis dan manajemen sehingga berdampak pada kemaslahatan masyarakat dan tidak mengurangi pelayanan serta hak rakyat.


Negara boleh melakukan penyitaan atas harta pejabat karena diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi (ghulul), hadiah, hibah dan suap (risywah), judi (baik langsung maupun online).


Sumber terbesar APBN Negara Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Para ulama menyimpulkan bahwa semua SDA yang depositnya melimpah menjadi kepemilikan umum, wajib dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Harta milik umum haram diserahkan ke swasta apalagi asing (Zallum, 2004).


Triono (2014) menghitung pendapatan APBN Indonesia jika menggunakan sistem Islam adalah sebesar Rp 5.216,275 T pertahun dengan rincian dari potensi zakat Rp 217 T dan dari pos kepemilikan umum sebesar Rp 4.999,275 T. itu belum termasuk harta sitaan akibat penyelewengan, seperti  korupsi dan suap. Dengan itu, tentu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan APBN 2025 yang sekitar Rp 3.005,1 T. 


Negara tak perlu lagi memungut pajak dari rakyat (dimana justru estimasi penerimaan perpajakan sejumlah 2.490,9 T) ataupun berutang ke luar negeri (yang pada tahun 2025 pembayaran bunga hutangnya saja dianggarkan Rp 552 T dari total tanggungan utang yang harus dibayar Rp 800,33 T, bahkan akan menambah utang lagi sebesar Rp 775 T).


Negara boleh mengambil pajak/dharibah (yang sifatnya sementara dan terbatas) jika sektor penting pada pos pengeluaran wajib dalam posisi kurang atau kosong. Pada sektor tersebut, negara tidak boleh melakukan pemangkasan anggaran dengan alasan apapun, termasuk alasan efisiensi. Dengan skema APBN Syariah diatas, Indonesia bisa menjadi negara yang kuat, mandiri dan tidak bergantung pada pajak, utang, maupun investasi terlebih investasi asing.


Salah Kaprah Efisiensi APBN


Sebagaimana diketahui, Pemerintah benar-benar melakukan pengetatan atau efisiensi APBN melalui Instruksi Presiden No.1 Th. 2025 dengan tujuan utama mengoptimalkan penggunaan sumberdaya keuangan negara, mengurangi pemborosan dan meningkatkan kualitas layanan publik. Ironisnya, alasan efisiensi anggaran tersebut tampak bukan merupakan hasil analisis kajian yang serius, hasilnya pun kontradiktif. 


Faktanya, penyebab inefisien anggaran paling dominan adalah pengelolaan APBN ala kapitalis, korupsi dan kebocoran APBN >30%. Sekarang ditambah lagi dengan struktur kabinet yang tetap dibiarkan gemoy. Artinya, solusi atau langkah efisiensi anggaran tidak menghilangkan penyebabnya, maka pasti tidak efektif mencapai tujuannya.


Buktinya, yang menjadi korban efisiensi anggaran justru yang menyangkut hajat hidup rakyat atau kepentingan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya, ada departemen yang selama ini tidak terlalu penting bagi rakyat justru anggarannya tetap bahkan meningkat. Tercatat ada 10 kementrian dan lembaga yang terkena pemangkasan anggaran, diantaranya KemenPU, Kemendiktisaintek, Kemenkes dan Kemenhub. 


Sebaliknya, ada 17 Kementrian dan lembaga yang tidak terkena pemangkasan anggaran, diantaranya Kemenhan, Polri, DPR, BIN, Kemenko Polhukam, Badan Gizi Nasional dan Kejagung. Yang lebih parah, nyatanya sebagian besar dana hasil efisiensi malah digunakan untuk mendukung program Danantara yang disinyalir bukan untuk kepentingan rakyat, tapi lebih untuk kepentingan oligarki. Selain untuk membiayai program utama lainnya yaitu MBG.


Kebijakan ini telah menimbulkan berbagai dampak di sektor vital yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Pemotongan KIP-K, pemangkasan anggaran rehabilitasi gedung sekolah rusak dan peningkatan laboratorium serta perpustakaan,  kenaikan UKT, berkurangnya subsidi sekolah negeri, bisa menjadi potensi anak putus sekolah serta menghambat penelitian dan inovasi. Putusnya bantuan sosial, tingginya angka PHK, naiknya biaya hidup, lemahnya sektor konstruksi dan manufaktur juga meningkatkan angka kemiskinan serta berpotensi meningkatkan ketegangan sosial ditengah masyarakat. Belum lagi potensi korupsi yang terbuka lebar, potensi bencana yang besar namun anggarannya terpangkas >50% sehingga mengancam keselamatan, dll.


Khatimah 


Kondisi ini membuktikan : Pertama, semakin mengokohkan bahwa para pejabat di Indonesia semakin egois, individualis dan kapitalis-materialis. Pejabat hadir bukan untuk melayani rakyat, tapi hanya untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, semakin mengokohkan kebijakan rezim sebelumnya yang korup dan represif. Dikenal dengan pola kepemimpinan populis-otoriter.


Pada akhirnya, keberhasilan pengelolaan APBN berdasarkan Syariah Islam mutlak membutuhkan individu yang bertaqwa, amanah dan berintegritas tinggi; juga mengharuskan sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah secara kaffah. Penerapan prinsip APBN tersebut dapat menjadi instrumen yang efektif dalam pembangunan ekonomi, juga membawa keberkahan bagi seluruh warga negara Islam (Muslim dan nonMuslim) bahkan menjadi rahmat seluruh alam.


Wallahu a’lam bi ash-shawab


Penulis: M. Kumaladewi

×
Berita Terbaru Update